Jumat, 27 Juni 2014

Pajak Menurut Syariah

Sistem perpajakan adalah sebuah hal yang menarik untuk dibicarakan. Artikel ini akan membahas sebuah kajian buku yang berjudul pajal menurut syariah. Apakah ada pajak dalam Islam? Apa saja sumber pendapatan negara menurut Islam? Bagaimana jika zakat jadi pengurang pajak? Bagaimana PPh, PPN dan PBB menurut Islam?
Beberapa fakta yang ditampilkan mengenai pajak ditampilkan penulis. Sebagai contoh, 78% pendapatan negara kita bersumber dari pajak, terutama dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Ketiga jenis tersebut merupakan sumber pendapatan pajak terbesar. Angka 78% persen dipandang belum optimal oleh pemerintah karena nilainya baru 13,6% dari produk domestik bruto (PDB). Oleh karena itu pemerintah merencanakan terus menaikkan target penerimaan pajak hingga mencapai tax ratio 17-20%.
Pada bagian lain, terdapat sebuah fakta mengenai minimnya alokasi pajak bagi fakir miskin. Hal ini terkaiit dengan terbuktinya peningkatan penerimaan pajak dari tahun ke tahun tidak diikuti oleh penurunan angka kemiskinan. Alokasi pajak untuk mengatasi kemiskinan melalui departemen sosial hanya Rp16,2 triliun atau 4,1% dari APBN tahun 2005. Alokasi pajak terbesar sebesar 51% penerimaan pajak dialokasikan untuk membayar utang negara. Pada 2004 besarnya cicilan utang pemerintah adalah Rp137,9 triliun dari total utang keseluruhan pemerintah sebesar Rp1.160,83 triliun. Pembayaran cicilan utang sebesar Rp137,9 triliun tadi setara dengan 51% penerimaan pajak 2004.
Hal ini mengakibatkan pajak belum menjadi solusi mengatasi kemiskinan, pajak hanya mampu menjadi sumber pendapatan negara (budgeter) semata untuk mendanai berbagai kebutuhan pemerintah dalam penyelenggaraan negara. Kelemahan mendasar dalam hal perpajakan di Indonesia adalah tidak adanya definisi tentang pajak dalam undang-undang perpajakan.
Tidak didefinisikannya pajak berakibat pajak didefinisikan oleh semua orang. Jika pajak didefinisikan oleh pemungut pajak, cenderung akan dibuatnya agar menguntungkan pemungutnya. Ini bisa berbuah kezaliman. Bila pajak didefinisikan oleh pembayarnya, cenderung akan dibuat untuk kepentingan pembayarnya. Jika hal ini terjadi, akan tercipta hukum rimba. Wajib pajak kuat, kaya, berpengaruh akan berusaha menyembunyikan kekayaannya sementara yang lemah tidak mampu menghindar karena kelemahannya itu.
Adakah pajak dalam Islam? Pajak diperbolehkan dalam Islam. Pengertian pajak (dharibah) dalam Islam berbeda dengan pajak atau tax dalam sistem ekonomi kapitalis dan sosialis. Pajak dibolehkan dalam Islam karena adanya kondisi tertentu dan juga syarat tertentu, seperti harus adil, merata dan tidak membebani rakyat. Jika melanggar ketiganya maka pajak seharusnya dihapus dan pemerintah mencukupkan diri dari sumber-sumber pendapatan yang jelas ada nashnya dan kembali kepada sistem anggaran berimbang (balance budget).
Pajak juga diperbolehkan setelah zakat ditunaikan. Atau dengan kata lain, bayar zakat dulu baru kemudian pajak dipungut. Kewajiban pajak bukan karena adanya harta melainkan karena adanya kebutuhan mendesak, sedangkan baitul mal kosong atau tidak mencukupi. Pemberlakuan pajak adalah situasional, tidak harus terus menerus. Ia bisa saja dihapuskan bila baitul maal sudah terisi kembali. Pajak diwajibkan hanya kepada kaum muslimin yang kaya.
Kesimpulannya adalah bahwa sistem ekonomi konvesional (kapitalis) telah gagal menciptakan pemerataan dan kesejahteraan. Buktinya, kekayaan tiga orang terkaya dunia sama dengan GDP 48 negara termiskin didunia. Padahal di zaman khalifah Umar bin Abdul Aziz, ketika sistem ekonomi Islam diterapkan, sulit menemukan fakir miskin untuk diberi zakat. Guna menggali lebih dalam bagaimana sistem ekonomi Islam diaplikasikan dalam buku ini terdapat bab khusus mengenai sejarah pendapatan dan pengeluaran negara di masa pemerintahan Rasulullah saw hingga pasca khulafaurrasyidin.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar