Minggu, 20 April 2014

Pancasila Sebagai Etika Politik

BAB I
PENDAHULUAN
A.   LATAR BELAKANG
Pengertian politik berasal dari kosa kata politics yang memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan. Untuk melaksanakan tujuan-tujuan perlu di tentukan kebijakan-kebijakan umun atau piblis policies, yang menyangkut peraturan dan pembagian dari sumber-sumber yang ada. Dan politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat bukan tujuan pribadi seseorang. Selain itu politik juga menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk partai politik, lembaga masyarakat maupun perseorangan.
B.   TUJUAN
Tujuan etika politik adalah mengarahkan kehidupan politik yang lebih baik, baik bersama dan untuk orang lain, dalam rangka membangun institusi-institusi politik yang adil. Etika politik membantu untuk menganalisa korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur politik yang ada. Penekanan adanya korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku individu dalam bernegara. 


BAB II
PEMBAHASAN
PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK
A.  Pengertian
Pengertian etika sebagai suatu usaha,filsaat dibagi menjadi beberapa cabang menurut lingkungan bahasanya masing masin. Cabang cabang itu dibagi menjadi dua kelompok bahasan pokok yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat teoritis mempertanyakan dan berusaha mencari  jawabannya tentan g segala sesuatu,misalnya hakikat manusia,alam,hakikat realitas sebagai suatu keseluruhan,tentang pengetahuan,tentang apa yang kita ketahui dan filsafat teoritispun juga mempunyai maksud maksud dan berkaitan erat dengan hal hal yang bersifat praktis,karena  pemahaman yang dicari menggerakkan kehidupannya .[1]
Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang dan bagaimana kita dan mangapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu,atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral.[2]
Etika berkaitan dengan masalah nilai karena etika pada pokoknya membicarakan masalah masalah yang berkatan dengan prediket nilai “susila” dan “tidak susila”,,”baik” dan “buruk”.
Etika Politik adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia. Bidang pembahasan dan metode etika politik. Pertama etika politik ditempatkan ke dalam kerangka filsafat pada umumnya. Kedua dijelaskan apa yang dimaksud dengan dimensi politis manusia. Ketiga dipertanggungjawabkan cara dan metode pendekatan etika politik terhadap dimensi politis manusia itu.
sejak abad ke-17 filsafat mengembangkan pokok-pokok etika politik seperti:
Ø   Perpisahan antara kekuasaan gereja dan kekuasaan Negara      
Ø   Kebebasan berpikir dan beragama (Locke)
Ø   Pembagian kekuasaan (Locke, Montesquie)
Ø   Kedaulatan rakyat (Rousseau)
Ø   Negara hokum demokratis/republican (Kant)
Ø   Hak-hak asasi manusia (Locke, dsb)
Ø   Keadilan sosial

Etika Politik
Etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkait dengan bidang pembahsan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian moral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika.[3]
Pengertian etika politik berasal dari kata ‘politics’ yang memiliki makna bermacam macam kegiatan dalam suatu sitem politik atau Negara yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dari system itu dan diikuti dengan pelaksanaan-pelaksanaan  itu. Pengambilan keputusan mengenai apakah yang menjadi tujuan dari system itu.[4]
C. Lima Prinsip Dasar Etika Politik Pancasila
Kalau membicarakan Pancasila sebagai etika politik maka ia mempunai lima prinsip itu berikut ini disusun menurut pengelompokan pancasila, maka itu bukan sekedar sebuah penyesuaian dengan situasi Indonesia, melainkan karena Pancasila memiliki logika internal yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan dasar etika politik modern (yang belum ada dalam Pancasila adalah perhatian pada lingkungan hidup).
1.      Pluralisme
Pluralisme adalah kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya, untuk hidup dengan positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat yang berbeda pandangan hidup, agama, budaya, adat.[5] Pluralisme  mengimplikasikan pengakuan terhadap kebebasan beragama, kebebasan berpikir, kebebasan mencari informasi, toleransi. Pluralisme memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan sekelompok orang.
2.  Hak Asasi Manusia
Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti Kemanusia yang adil dan beradab. Mengapa? Karena hak-hak asasi manusia menyatakan bagaimana manusia wajib diperlakukan dan wajib tidak diperlakukan. Jadi bagaimana manusia harus diperlakukan agar sesuai dengan martabatnya sebagai manusia. Karena itu, Hak-hak asasi manusia adalah baik mutlak maupun kontekstual dalam pengertian sebagai berikut.
a.   Mutlak karena manusia memilikinya bukan karena pemberian Negara, masyarakat, melainkan karena ia manusia, jadi dari tangan Sang Pencipta.
b.    Kontekstual karena baru mempunyai fungsi dan karena itu mulai disadari, di ambang modernitas di mana manusia tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi, dan seblaiknya diancam oleh Negara modern.
Bila mengkaji hak asasi manusia secara umum, maka dapat dibedakan dalam bentuk tiga generasi hak-hak asasi manusia:
1)   Generasi pertama (abad ke 17 dan 18): hak-hak liberal, demokratis    dan perlakuan wajar di depan hokum.
2)    Generasi kedua (abad ke 19/20): hak-hak sosial
3)    Generasi ketiga (bagian kedua abad ke 20): hak-hak kolektif    (misalnya minoritas-minoritas etnik).
3. Solidaritas Bangsa
Solidaritas bermakna manusia tidak hanya hidup demi diri sendiri, melainkan juga demi orang lain, bahwa kita bersatu senasib sepenanggungan. Manusia hanya hidup menurut harkatnya apabila tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan menyumbang sesuatu pada hidup manusia-manusia lain. Sosialitas manusia berkembnag secara melingkar: keluarga, kampong, kelompok etnis, kelompok agama, kebangsaan, solidaritas sebagai manusia.[6]  Maka di sini termasuk rasa kebangsaan. Manusia menjadi seimbang apabila semua lingkaran kesosialan itu dihayati dalam kaitan dan keterbatasan masing-masing. Solidaritas itu dilanggar dengan kasar oleh korupsi.
4. Demokrasi
Prinsip “kedaulatan rakyat” menyatakan bahwa tak ada manusia, atau sebuah elit, atau sekelompok ideology, atau sekelompok pendeta/pastor/ulama berhak untuk menentukan dan memaksakan (menuntut dengan pakai ancaman) bagaimana orang lain harus atau boleh hidup. Demokrasi berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak menentukan siapa yang memimpin mereka dan kemana mereka mau dipimpin. Demokrasi adalah “kedaulatan rakyat plus prinsip keterwakilan”.[7] Jadi demokrasi memerlukan sebuah system penerjemah kehendak masyarakat ke dalam tindakan politik.
Demokrasi hanya dapat berjalan baik atas dua dasar:
  1. Pengakuan dan jaminan terhadap HAM; perlindungan terhadap HAM menjadi prinsip mayoritas tidak menjadi kediktatoran mayoritas.
  2. Kekuasaan dijalankan atas dasar, dan dalam ketaatan terhadap hukum (Negara hukum demokratis). Maka kepastian hukum merupakan unsur hakiki dalam demokrasi (karena mencegah pemerintah yang sewenang-wenang).
5. Keadilan Sosial
Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan masyarakat. Maksud baik apa pun kandas apabila melanggar keadilan. Moralitas masyarakat mulai dengan penolakan terhadap ketidakadilan. Keadilan social mencegah bahwa masyarakat pecah ke dalam dua bagian; bagian atas yang maju terus dan bagian bawah yang paling-paling bisa survive di hari berikut.
Tuntutan keadilan social tidak boleh dipahami secara ideologis, sebagai pelaksanaan ide-ide, ideology-ideologi, agama-agama tertentu; keadilan social tidak sama dengan sosialisme. Keadilan social adalah keadilan yang terlaksana. Dalam kenyataan, keadilan social diusahakan dengan membongkar ketidakadilan-ketidakadilan yang ada dalam masyarakat. Di mana perlu diperhatikan bahwa ketidakadilan-ketidakadilan itu bersifat structural, bukan pertama-pertama individual. Artinya, ketidakadilan tidak pertama-tama terletak dalam sikap kurang adil orang-orang tertentu (misalnya para pemimpin), melainkan dalam struktur-struktur politik/ekonomi/social/budaya/ideologis. Struktur-struktur itu hanya dapat dibongkar dengan tekanan dari bawah dan tidak hanya dengan kehendak baik dari atas. Ketidakadilan structural paling gawat sekarang adalah sebagian besar segala kemiskinan. Ketidakadilan struktur lain adalah diskriminasi di semua bidang terhadap perempuan, semua diskriminasi atas dasar ras, suku dan budaya.
Berdasarkan uaraian di atas, tantangan etika politik paling serius di Indonesia sekarang adalah:
  1. Kemiskinan, ketidakpedulian dan kekerasan sosial.
  2. Ekstremisme ideologis yang anti pluralism, pertama-tama ekstremisme agama dimana mereka yang merasa tahu kehendak Tuhan merasa berhak juga memaksakan pendapat mereka pada masyarakat.
  3. Korupsi.
D. Demensi Manusia Politik
a. Manusia Sebagai Makhluk Individu-Sosial
Berbagai paham antropologi filsafat memandang hakikat sifat kodrat manusia, dari kacamata yang berbeda-beda. Paham individualism yang merupakan bakal paham liberalisme, memandang manusia sebagai makhluk individu yang bebas, Konsekuensinya dalam setiap kehidupan masyarakat, bangsa, maupun negara dasar merupakan dasar moral politik negara. Segala hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama senantiasa diukur berdasarkan kepentingan dan tujuan berdasarkan paradigma sifat kodrat manusia sebagai individu. Sebaliknya kalangan kolektivisme yang merupakan cikal bakal sosialisme dan komunisme mamandang siafat manusia sebagi manusia social. Individu menurut paham kolekvitisme dipandang sebagai sarana bagi amasyarakat. Oleh karena itu konsekuensinya segala aspek dalam realisasi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara paham kolektivisme mendasarkan kepada sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Segala hak dan kewajiban baik moral maupun hukum, dalam hubungan masyarakat, bangsa dan negara senantiasa diukur berdasarkan filsofi manusia sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk yang berbudaya, kebebasan sebagi invidu dan segala aktivitas dan kreatifitas dalam hidupnya senantiasa tergantung pada orang lain, hal ini dikarenakan manusia sebagai masyarakat atau makhluk sosial. Kesosialanya tidak hanya merupakan tambahan dari luar terhadap individualitasnya, melainkan secara kodrati manusia ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa tergantung pada orang lain.[8]
Manusia didalam hidupnya mampu bereksistensi kare orang lain dan ia hanya dapat hidup dan berkembang karena dalam hubunganya dengan oranglain.Dasar filosofi sebagaimana terkandung dalam pancasila yang nilainya terdapat dalam budaya bangsa, senantiasa mendasarkan hakikat sifat kodrat manusia adalah monodualis yaitu sbagai makhlukindividu dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Maka sifat serta ciri khas kebangsaan dan kenegaraan indonesia bukanlah totalis individualistis. Secara moralitas negara bukanlah hanya demi tujuan kepentingan dan kkesejahteraan individu maupun masyarakat secara bersama. Dasar ini merupakan basis moralitas bagi pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, sehingga konsekuensinya segala keputusan, kebijaksanaan serta arah dari tujuan negara indonesia harus dapat dikembalikan secara moral kepada dasar-dasar tersebut.
b.Demensi Politis Kehidupan Manusia
Dimensin politis manusia senantiasa berkaitan dengan kehidupan negara dan hukum, sehingga senantiasa berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan.Dimensi ini memiliki dua segi fundamental yaitu pengertian dan kehendak untuk bertindak. Sehingga dua segi fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek kehidupan manusia. Dua aspek ini yang senantiasa berhadapan dengan tindakan moral manusia, sehingga mausia mengerti dan memahami akan suatu kejadian atau akibat yang ditimbulkan karena tindakanya, akan tetapi hal ini dapat dihindarkan karena kesadaran moral akan tanggung jawabnya terhadap manusia lain dan masyarakat. Apabila pada tindakan moralitas kehidupan manusia tidak dapat dipenuhi oleh manusia dalam menghadapai hak orang lain dalam masyarakat, maka harus dilakukan suatu pembatasan secara normatif. Lembaga penata normatif masyarakat adalah hukum. Dalam suatu kehidupan masyarakat hukumlah yang memberitahukan kepada semua anggota masyarakat bagaimana mereka harus bertindak. Hukum hanya bersifat normatif dan tidak secara efektif dan otomatis menjamin agar setiap anggota masyarakat taat kepada norma-normanya. Oleh karena itu yang secara efektif dapat menentukan kekuasaan masyarakat hanyalah yang mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya, dan lemabaga itu adalah negara. Penataan efektif adalah penataan de facto, yaitu penatan yang berdasarkan kenyataan menentukan kelakuan masyarakat. Namun perlu dipahami bahwa negara yang memiliki.
E. Nilai – nilai Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik
Sebagi dasar filsafah negara pancasila tidak hanya merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan, malainkan juga merupakan sumber moraliatas terutama dalam hubunganya dengan legitimasi kekuasaan, hukum serta sebagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” serta sila ke dua “kemanusiaan yang adoil dan beradab” adalah merupakan sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, Etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijlankan sesuai dengan Asas legalitas (Legitimasi hukum) , secara demokrasi (legitimasi demokrasi) dan dilaksanakan berdasrkan prinsip-prinsip moral (legitimasi moral). (Suseno, 1987 :115). Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara baik menyangkut kekuasaan, kebijaksanaan yang menyangkut publik, pembagian serta kewenagan harus berdasarkan legitimimasi moral religius serta moral kemanusiaan. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaran negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan.


BAB III
PENUTUP
A.     KESIMUPALAN
Etika Politik adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia. Bidang pembahasan dan metode etika politik. Pertama etika politik ditempatkan ke dalam kerangka filsafat pada umumnya. Kedua dijelaskan apa yang dimaksud dengan dimensi politis manusia. Ketiga dipertanggungjawabkan cara dan metode pendekatan etika politik terhadap dimensi politis manusia itu.
B.     SARAN
Pancasila hendaknya disosialisasikan secara mendalam sehingga dalam kehidupan bermasyarakat dalam berbagai segi terwujud dengan adanya kesianambungan usaha pemerintah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur dengan kepastian masyarakat untuk mengikuti dan mentaati peraturan yang ditetapkan, karena kekuatan politik suatu negara ditentukan oleh kondisi pemerintah yang absolut dengan adanya dukungan rakyat sebagai bagian terpenting dari terbentuknya suatu negara.
Sumber: http://dewi-mulya.blogspot.com/2012/06/pancasila-sebagai-etika-politik.html

Etika Politik Pemerintah Daerah

*Etika Politik Pemerintah Daerah
 Karena pemerintahan itu sendiri menyangkut pencapaian tujuan negara (dimensi politis), maka dalam perkembangannya etika pemerintahan tersebut  berkaitan dengan etika politik. Etika politik subjeknya adalah negara, sedangkan etika pemerintahan subjeknya adalah pejabat dan para pegawai. Etika politik berhubungan dengan dimensi politik kehidupan manusia, yaitu  berhubungan dengan pelaksanaan sistem politik seperti tatanan politik, legitimasi dan kehidupan berpolitik. Bentuk nilai keutamaannya seperti demokrasi, martabat manusia, kesejahteraan warga negara, dan kebebasan berpendapat. Etika politik juga mengharuskan sistem politik menjunjung nilai-nilai keutamaan yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara etis maupun normatif. Misalnya legitimasi politik harus dapat dipertanggungjawabkan demikian juga tatanan kehidupan politik dalam suatu negara. Etika pemerintahan berhubungan dengan keutamaan-keutamaan yang harus dilaksanakan oleh para pejabat dan pegawai pemerintahan. Karena itu dalam etika  pemerintahan membahas perilaku penyelenggara pemerintahan, terutama  penggunaan kekuasaan, wewenang termasuk legitimasi kekuasaan dalam kaitannya dengan tingkah laku yang baik atau buruk. Wujud etika pemerintahan tersebut adalah aturan-aturan ideal yang dinyatakan dalam undang-undang dasar baik yang dikatakan oleh dasar negara maupun dasar-dasar perjuangan negara, serta etika pegawai pemerintahan. Wujudnya di Indonesia adalah Pembukaan Undang-Undang Dasr 1945 sekaligus Pancasila sebagai dasar negara, serta doktrin dan etika Pegawai  Negeri Sipil.
Doktrin Pegawai Negeri Sipil dinamakan “Bhinneka Karya Abdi Negara”
yaitu walaupun anggota-anggota KORPRI melaksanakan tugas di berbagai bidang dan jenis karya yang beraneka ragam, tetapi adalah dalam rangka pelaksanaan  pengabdian kepada bangsa, negara dan masyarakat Indonesia. Etika Pegawai Negeri
Sipil disebut dengan “Panca Prasetya KORPRI”, yaitu anggota KO
RPRI beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah insan yang:
1.Setia dan taat kepada negara kesatuan dan pemerintah Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2.Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara serta memegang teguh rahasia jabatan dan rahasia negara.
3.Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan  pribadi dan golongan. 4.Bertekad memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta kesetiakawanan KORPRI
5.Berjuang menegakkan kejujuran dan keadilan, serta meningkatkan kesejahteraan dan profesionalisme. (Dharma Setyawan Salam, 2004: 64-65) Widjaja (Dharma Setyawan Salam, 2004: 67) mengatakan bahwa etika  berupa ajaran untuk mencapai tujuan dalam mewujudkan pemerintahan yang stabil dan berwibawa menghendaki kondisi yang baik dari pelaksana-pelaksananya. Dalam rangka menegakkan suatu pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa, maka etika pemerintahan juga harus memperhatikan perkembangan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara sebagai hubungan yang sinergis antara negara, swasta dan masyarakat. Sejarah pemerintahan di Indonesia membuktikan bahwa etika pegawai negeri yang tercantum dalam Panca Prasetya KORPRI maupun yang diatur secara tersirat dalam peraturan perundang-undangan yang ada belum mampu menjadi pedoman  perilaku bagi pejabat dan Pegawai Negeri Sipil di Indonesia. Misalnya, praktik- praktik penyalahgunaan wewenang serta korupsi, kolusi dan nepotisme tetap marak dalam setiap babakan sejarah pemerintahan di Indonesia. Karena itu etika pemerintahan harus diimplementasikan secara tegas dalam  bentuk peraturan perundang-undangan (baik undang-undang maupun peraturan daerah). Pembuatan undang-undang etika pemerintahan ini didasarkan pada hakikat  pemerintahan berdasarkan pandangan etika pemerintahan adalah penerapan suatu kewenangan yang berdaulat secara berkelanjutan berupa penataan, pengaturan,  penertiban, pengamanan dan perlindungan terhadap sekelompok manusia untuk mencapai tujuan tertentu baik secara arbiter maupun berdasar pada peraturan  perundang-undangan. Di samping itu, pembuatan undang-undang etika pemerintahan ini merupakan salah satu upaya untuk mencapai tujuan etika kepemerintahan, yaitu:
1.Menciptakan pemerintahan yang adil, bersih dan berwibawa.
2.Menempatkan segala perkara pada tempatnya sesuai dengan kodrat, harkat, martabat manusia serta sesuai dengan fungsi, peran dan misi pemerintahan.
3.Terciptanya masyarakat demokratis.
4.Terciptanya ketertiban, kedamaian, kesejahteraan dan kepedulian. 

 Dapat disimpulkan bahwa pemerintahan pada dasarnya merupakan upaya menjalankan kekuasaan untuk mencapai tujuan tertentu. Namun demikian, dalam menjalankan pemerintahan itu, penguasa (termasuk aparatur pemerintahan daerah) harus bersikap adil, jujur, menjunjung tinggi hukum dan memanusiakan manusia. Karena itu dalam etika pemerintahan, memerintah berarti menerapkan kekuasaa secara adil (baik secara hukum alam maupun hukum positif) dan memanusiakan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya. Implikasinya dalam menerapkan kekuasaan tidak berdasarkan kekuasan fisik tetapi berdasr asas kesamaan/kesetaraan, kebebasan, kepedulian/solidaritas, dan menjunjung tinggi hukum. Dengan penerapan asas ini maka diharapkan penyalahgunaan wewenang dan kesewenang-wenangan dapat dihindari. Sebaliknya, penyelenggaraan pemerintahan (pemerintahan daerah) juga memerlukan kekuasaan dalam bentuk wewenang dan otoritas. Dengan kekuasaan ini,  pemerintah (pemerintah daerah) memiliki hak untuk menuntut ketaatan dan memberi perintah kepada orang-orang yang diatur atau diperintahnya. Namun demikian, kekuasaan, wewenang, otoritas serta hak-hak yang melekat itu harus memiliki legitimasi (keabsahan) berdasarkan norma tertentu. Di samping itu, sudah menjadi kewajiban moral bagi aparatur pemerintahan untuk mempertanggungjawabkan segala sikap dan perilakunya. Syarat-syarat yang perlu dipenuhi oleh aparatur pemerintahan daerah dalam setiap perbuatan hukumnya agar dapat diterima oleh masyarakat adalah sebagai berikut: 

1.Efektifitas. Kegiatan harus mengenai sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan atau direncanakan.
2.Legitimasi. Kegiatan pemerintah daerah harus dapat diterima masyarakat dan lingkungannya. 3.Perbuatan para aparatur pemerintahan tidak boleh melanggar hukum.
4.Legalitas. Semua perbuatan yang dilakukan oleh pemerintah harus  berdasarkan hukum yang jelas.
5.Moralitas. Moral dan etika umum maupun kedinasan wajib dijunjung tinggi.
6.Efisiensi. Kehematan biaya dan produiktivitas wajib diusahan setinggi-tingginya.
7.Teknik dan teknologi yang setinggi-tingginya wajib dipakai untuk mengembangkan atau mempertahankan mutu prestasi yang sebaik-baiknya. (Dharma Setyawan Salam, 2004: 88-89)

*Pelanggaran etika politik oleh pemerintah daerah
 Pelanggaran etika politik terjadi ketika para aparatur daerah tidak lagi mengindahkan etika politik dalam pemerintahannya. Pelanggaran yang marak terjadi di Indonesia adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme. Salah satunya adalah yang terjadi  baru-baru ini di provinsi Banten. Yaitu, tindak KKN yang dilakukan oleh gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah. Yang paling jelas terlihat dari tindak KKn Ratu Atut adalah adanya politik dinasti pemerintahan, dimana banyak anggota keluarga dan orang-orang terdekat Ratu Atut yang menjabat di pemerintahan. Dinasti politik keluarga Gubernur banten, Ratu Atut Chosiyah, dinilai tidak berkualitas dan merusak tatanan demokrasi. Hal itu diperparah dengan cara-cara kotor dan korupsi untuk meraih jabatan. Sebenarnya tidak ada larangan bagi setiap warga negara untuk berpolitik, namun ketika mereka dipaksakan menjadi pejabat publik tanpa melalui tahapan dan seleksi, maka hasilnya tidak akan maksimal Dinasti politik terjadi tidak hanya karena pejabat dan kroni-kroninya melainkan juga ditentukan oleh partispasi rakyat. Sebagai pemilih, rakyat tidak memperhatikan latar belakang orang yang dipilihnya namun lebih pada money  politik yang akan diterimanya.rakyat sebagai pemilih sering terbuai dengan berapa uang yang diterima untuk memilih calon pemimpin mereka. Dalam politik, aturan pembatasan dinasti politik tidak bisa dilakukan karena melanggar hak asasi manusia. Pasalnya, setiap warga negara mempunyai berpolitik untuk memilih dan dipilih. Dalam hal ini yang perlu diatur adalah proses kompetisinya. Semuanya harus melewati tahapan dan fase yang sama, tidak ada  pembedaan. Jangan sampai seseorang bisa dengan mudah mendapat jabatan hanya kaerna dia adalah kerabat dari seorang pejabat yang lebih tinggi.


Etika Pemerintahan dan Politik

          Konsepsi etika, sebenarnya sudah lama diterima sebagai suatu sistem nilai yang tumbuh dan berkembang pada peradaban manusia, sehingga dengan demikian  pada dasarnya etika yaitu serangkaian upaya yang menjadikan moralitas sebagai landasan bertindak dalam tatanan kehidupan yang kolektif. Etika memungkinkan  berjalannya kehidupan sosial yang harmonis dan damai. Penerapkan etika dalam hidup akan membuat manusia dapat berkembang lebih baik. Dalam menjalankan suatu pemerintahan, etika juga sangat perlu diterapkan. Hal ini guna memastikan agar jalannya pemerintahan tetap berorientasi pada tercapainya tujuan dan kepentingan bersama. Hal ini akan berimbas pula pada meningkatnya rasa solidaritas dan persatuan yang tinggi dalam masyarakat sehingga akan berimbas pada perkembangan ekonomi yang lebih baik. Dalam praktik pemerintahan masa sekarang ini banyak terjadi penyimpangan dan pelanggaran etika. Praktik pelanggaran etika ini dilakukan oleh individu atau kelompok tertentu yang hanya ingin memenuhi kepentingannya sendiri dengan tidak mengindahkan kepentingan bersama. Hal tersebut amat sangat merugikan masyarakat dan menimbulkan ketimpangan, serta ketidakharmonisan sosial yang  berimbas pada munculnya rasa ketidakpuasan pada pemerintah. Praktik-praktik pelanggaran etika tersebut diantaranya adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang belakangan semakin marak dan seakan telah menjadi  budaya dalam masyarakat. Pelanggaran etika tersebut dilakukan tidak hanya oleh kalangan pejabat tingkat negara saja, tapi juga tingkat daerah, dan bahkan para  bawahannya pula. Hal ini mengakibatkan pemerintahan menjadi tidak sehat dan masyarakatlah yang akan menanggung kerugiannya kelak. Pada kesempatan ini,  pemakalah akan membahas tentang etika politik dalam pemerintahan daerah, dikaitkan dengan pelanggaran etika politik oleh salah Ratu Atut Chosiyah, Gubernur  provinsi Banten, yang baru-baru ini terjerat kasus KKN.

  • Etika Politik
          Etika Politik Secara subtantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subyek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik  berkait erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa  pengertian moral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subyek etika. Maka kewajiban moral dibedakan dengan pengertian kewajiban-kewajiban lainya, karena yang dimaksud adalah kewajiban manusia sebagai manusia. Walaupun dalam hubunganya dengan masyarakat bangsa maupun negara, Etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagai makhluk yang beradab dan berbudaya. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, Etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijlankan sesuai dengan Asas legalitas (Legitimasi hukum), secara demokrasi (legitimasi demokrasi) dan dilaksanakan berdasarkan prinsip- prinsip moral (legitimasi moral). Etika politik ini harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat secara kongkrit dalam pelaksanaan pemerintahan negara, Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup yang baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil. Definisi etika politik membantu menganalisis korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Dalam  perspektif ini, pengertian etika politik mengandung tiga tuntutan: (1) upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain; (2) upaya memperluas lingkup kebebasan; dan (3) membangun institusi-institusi yang adil. Tiga tuntutan tersebut saling terkait. "Hidup bersama dan untuk orang lain" tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan yang mencegah warga negara atau kelompok-kelompok dari perbuatan yang saling merugikan. Kebebasan warga negara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil. Pengertian kebebasan dimaksudkan sebagai syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu demi pelaksanaan konkret kebebasan atau democratic liberties: kebebasan pers, kebebasan berserikat dan  berkumpul, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya. Dalam konteks ini  pembicaraan mengenai ingatan sosial erat kaitannya dengan etika politik. Apalagi,  berbagai kasus kekerasan dan pembunuhan massal selalu terulang di Indonesia. Dari  pengalaman ini orang mulai curiga jangan- jangan tiadanya proses hukum terhadap kekerasan dan pembunuhan yang terjadi merupakan upaya sistematik untuk mengubur ingatan sosial. Kesimpulannya Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang jujur,  bertatakrama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan,  jauh dari sifat munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya.

  • Etika Pemerintahan
          Dalam etika pemerintahan, terdapat asumsi yang berlaku bahwa melalui  penghayatan yang etis yang baik, seorang aparatur akan dapat membangun komitmen untuk menjadikan dirinya sebagai teladan tentang kebaikan dan menjaga moralitas pemerintahan.Aparatur pemerintahan yang baik dan bermoral tinggi, akan senantiasa menjaga dirinya agar dapat terhindar dari perbuatan tercela, karena ia terpanggil untuk menjaga amanah yang diberikan, melalui pencitraan perilaku hidup sehari- hari. Dalam lingkup profesi pemerintahan misalnya, ada nilai- nilai tertentu yang harus tetap ditegakkan- demi menjaga citra pemerintah dan yang dapat menjadikan pemerintah, mampu menjalankan tugas dan fungsinya. Diantara nilai- nilai tersebut, ada yang tetap menjadi bagian dari etika dan adapula yang telah ditranspormasikan ke dalam hukum positif. Contohnya, tindakan kolusi dengan kelompok tertentu, lebih tepat dipandang sebagai pelanggaran etika daripada  pelanggaran hukum dikarenakan hukum belum secara rinci mengatur tentang bentuk pelanggaran yang umumnya berlangsung secara diam- diam dan tersembunyi. Oleh karena itu, seorang aparatur pemerintah yang ketahuan melakukan tindakan kolusi, sekalipun tidak dapat selalu dituduh melanggar hukum berarti ia dinilai telah melanggar etika, sehingga secara profesional dan moral, tetap dapat dikenakan sanksi. Kolusi merupakan sikap tidak jujur dengan cara membuat kesepakatan tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan  pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar. Etika pemerintahan seyogyanya dikembangkan dalam upaya pencapaian misi, artinya- setiap tindakan yang dinilai tidak sesuai- dianggap tidak mendukung- apalagi dirasakan dapat menghambat pencapaian misi dimaksud, seyogyanya dianggap sebagai satu pelanggaran etik. Pegawai pemerintah yang malas masuk kantor, tidak secara sungguh-sungguh melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya, minimal dapat dinilai- telah melanggar etika profesi pegawai negeri sipil. Mereka yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi- kelompok- atau golongan- dengan merugikan kepentingan umum pada hakikatnya telah melanggar etika pemerintahan. Etika pemerintahan mengamanatkan agar pejabat memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai atau pun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa dan negara. Etika ini dimaksud untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efesien dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai  perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih  benar walau datang dari orang per-orang ataupun kelompok orang, serta menjunjung tinggi  Hak Asasi Manusia.

Etika pemerintahan selalu berkaitan dengan nilai-nilai keutamaan yang  berhubungan dengan hak-hak dasar warga negara dalam selaku manusia sosial.  Nilai-nilai keutamaan yang dikembangkan dalam etika kepemerintahan adalah:
1.Penghormatan terhadap hidup manusia dan hak asasi manusia lainnya.
2.Kejujuran (honesty) baik terhadap diri sendiri maupun terhadap manusia lainnya.
3.Keadilan (justice) dan kepantasan, merupakan sikap yang terutama harus diperlakukan terhadap orang lain.
4.Fortitude, yaitu kekuatan moral, ketabahan serta berani karena benar terhadap godaan dan nasib.
5.Temperance, yaitu kesederhanaan dan pengendalian diri 
6.Nilai-nilai agama dan sosial budaya termasuk nilai agama agar umat manusia harus bertindak secara profesional dan bekerja keras.