BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Pengertian politik berasal dari kosa
kata politics yang memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem
politik atau negara yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan. Untuk
melaksanakan tujuan-tujuan perlu di tentukan kebijakan-kebijakan umun atau
piblis policies, yang menyangkut peraturan dan pembagian dari sumber-sumber
yang ada. Dan politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat
bukan tujuan pribadi seseorang. Selain itu politik juga menyangkut kegiatan
berbagai kelompok termasuk partai politik, lembaga masyarakat maupun
perseorangan.
B. TUJUAN
Tujuan etika politik adalah
mengarahkan kehidupan politik yang lebih baik, baik bersama dan untuk orang
lain, dalam rangka membangun institusi-institusi politik yang adil. Etika
politik membantu untuk menganalisa korelasi antara tindakan individual,
tindakan kolektif, dan struktur-struktur politik yang ada. Penekanan adanya
korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya
sekadar etika individual perilaku individu dalam bernegara.
BAB II
PEMBAHASAN
PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK
A. Pengertian
Pengertian
etika sebagai suatu usaha,filsaat dibagi menjadi beberapa cabang menurut
lingkungan bahasanya masing masin. Cabang cabang itu dibagi menjadi dua kelompok
bahasan pokok yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat teoritis
mempertanyakan dan berusaha mencari
jawabannya tentan g segala sesuatu,misalnya hakikat manusia,alam,hakikat
realitas sebagai suatu keseluruhan,tentang pengetahuan,tentang apa yang kita
ketahui dan filsafat teoritispun juga mempunyai maksud maksud dan berkaitan
erat dengan hal hal yang bersifat praktis,karena pemahaman yang dicari menggerakkan kehidupannya
.[1]
Etika adalah suatu ilmu yang membahas
tentang dan bagaimana kita dan mangapa kita mengikuti suatu ajaran moral
tertentu,atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab
berhadapan dengan berbagai ajaran moral.[2]
Etika berkaitan dengan masalah nilai
karena etika pada pokoknya membicarakan masalah masalah yang berkatan dengan
prediket nilai “susila” dan “tidak susila”,,”baik” dan “buruk”.
Etika Politik adalah filsafat moral
tentang dimensi politis kehidupan manusia. Bidang pembahasan dan metode etika
politik. Pertama etika politik ditempatkan ke dalam kerangka filsafat pada
umumnya. Kedua dijelaskan apa yang dimaksud dengan dimensi politis manusia.
Ketiga dipertanggungjawabkan cara dan metode pendekatan etika politik terhadap
dimensi politis manusia itu.
sejak abad ke-17 filsafat mengembangkan
pokok-pokok etika politik seperti:
Ø Perpisahan
antara kekuasaan gereja dan kekuasaan Negara
Ø Kebebasan
berpikir dan beragama (Locke)
Ø Pembagian
kekuasaan (Locke, Montesquie)
Ø Kedaulatan
rakyat (Rousseau)
Ø Negara hokum
demokratis/republican (Kant)
Ø Hak-hak asasi manusia
(Locke, dsb)
Ø Keadilan sosial
Etika Politik
Etika politik tidak dapat dipisahkan
dengan subjek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik
berkait dengan bidang pembahsan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa
pengertian moral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika.[3]
Pengertian etika politik berasal dari
kata ‘politics’ yang memiliki makna
bermacam macam kegiatan dalam suatu sitem politik atau Negara yang menyangkut
proses penentuan tujuan-tujuan dari system itu dan diikuti dengan
pelaksanaan-pelaksanaan itu. Pengambilan
keputusan mengenai apakah yang menjadi tujuan dari system itu.[4]
C. Lima Prinsip
Dasar Etika Politik Pancasila
Kalau membicarakan Pancasila sebagai etika politik maka
ia mempunai lima prinsip itu berikut ini disusun menurut pengelompokan
pancasila, maka itu bukan sekedar sebuah penyesuaian dengan situasi Indonesia,
melainkan karena Pancasila memiliki logika internal yang sesuai dengan
tuntutan-tuntutan dasar etika politik modern (yang belum ada dalam Pancasila
adalah perhatian pada lingkungan hidup).
1. Pluralisme
Pluralisme adalah kesediaan untuk menerima pluralitas,
artinya, untuk hidup dengan positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama
warga masyarakat yang berbeda pandangan hidup, agama, budaya, adat.[5]
Pluralisme mengimplikasikan pengakuan terhadap kebebasan
beragama, kebebasan berpikir, kebebasan mencari informasi, toleransi.
Pluralisme memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan sekelompok orang.
2. Hak Asasi Manusia
Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti Kemanusia yang
adil dan beradab. Mengapa? Karena hak-hak asasi manusia menyatakan bagaimana
manusia wajib diperlakukan dan wajib tidak diperlakukan. Jadi bagaimana manusia
harus diperlakukan agar sesuai dengan martabatnya sebagai manusia. Karena itu,
Hak-hak asasi manusia adalah baik mutlak maupun kontekstual dalam pengertian
sebagai berikut.
a. Mutlak karena manusia memilikinya bukan karena pemberian
Negara, masyarakat, melainkan karena ia manusia, jadi dari tangan Sang
Pencipta.
b. Kontekstual karena
baru mempunyai fungsi dan karena itu mulai disadari, di ambang modernitas di
mana manusia tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi, dan seblaiknya diancam
oleh Negara modern.
Bila mengkaji hak asasi manusia secara umum, maka dapat
dibedakan dalam bentuk tiga generasi hak-hak asasi manusia:
1) Generasi pertama (abad ke 17 dan 18):
hak-hak liberal, demokratis dan perlakuan wajar di depan hokum.
2) Generasi kedua (abad ke 19/20): hak-hak
sosial
3) Generasi ketiga
(bagian kedua abad ke 20): hak-hak kolektif (misalnya minoritas-minoritas etnik).
3. Solidaritas Bangsa
Solidaritas
bermakna manusia tidak hanya hidup demi diri sendiri, melainkan juga demi orang
lain, bahwa kita bersatu senasib sepenanggungan. Manusia hanya hidup menurut
harkatnya apabila tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan menyumbang
sesuatu pada hidup manusia-manusia lain. Sosialitas manusia berkembnag secara
melingkar: keluarga, kampong, kelompok etnis, kelompok agama, kebangsaan,
solidaritas sebagai manusia.[6] Maka di sini termasuk rasa kebangsaan. Manusia
menjadi seimbang apabila semua lingkaran kesosialan itu dihayati dalam kaitan
dan keterbatasan masing-masing. Solidaritas itu dilanggar dengan kasar oleh
korupsi.
4. Demokrasi
Prinsip “kedaulatan rakyat” menyatakan bahwa tak ada
manusia, atau sebuah elit, atau sekelompok ideology, atau sekelompok
pendeta/pastor/ulama berhak untuk menentukan dan memaksakan (menuntut dengan
pakai ancaman) bagaimana orang lain harus atau boleh hidup. Demokrasi
berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak menentukan siapa yang
memimpin mereka dan kemana mereka mau dipimpin. Demokrasi adalah “kedaulatan
rakyat plus prinsip keterwakilan”.[7]
Jadi demokrasi memerlukan sebuah
system penerjemah kehendak masyarakat ke dalam tindakan politik.
Demokrasi hanya dapat berjalan baik atas dua dasar:
- Pengakuan dan jaminan terhadap HAM; perlindungan terhadap HAM menjadi prinsip mayoritas tidak menjadi kediktatoran mayoritas.
- Kekuasaan dijalankan atas dasar, dan dalam ketaatan terhadap hukum (Negara hukum demokratis). Maka kepastian hukum merupakan unsur hakiki dalam demokrasi (karena mencegah pemerintah yang sewenang-wenang).
5. Keadilan Sosial
Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan
masyarakat. Maksud baik apa pun kandas apabila melanggar keadilan. Moralitas
masyarakat mulai dengan penolakan terhadap ketidakadilan. Keadilan social
mencegah bahwa masyarakat pecah ke dalam dua bagian; bagian atas yang maju
terus dan bagian bawah yang paling-paling bisa survive di hari berikut.
Tuntutan keadilan social tidak boleh dipahami secara
ideologis, sebagai pelaksanaan ide-ide, ideology-ideologi, agama-agama
tertentu; keadilan social tidak sama dengan sosialisme. Keadilan social adalah
keadilan yang terlaksana. Dalam kenyataan, keadilan social diusahakan dengan
membongkar ketidakadilan-ketidakadilan yang ada dalam masyarakat. Di mana perlu
diperhatikan bahwa ketidakadilan-ketidakadilan itu bersifat structural, bukan
pertama-pertama individual. Artinya, ketidakadilan tidak pertama-tama terletak
dalam sikap kurang adil orang-orang tertentu (misalnya para pemimpin),
melainkan dalam struktur-struktur politik/ekonomi/social/budaya/ideologis.
Struktur-struktur itu hanya dapat dibongkar dengan tekanan dari bawah dan tidak
hanya dengan kehendak baik dari atas. Ketidakadilan structural paling gawat
sekarang adalah sebagian besar segala kemiskinan. Ketidakadilan struktur lain
adalah diskriminasi di semua bidang terhadap perempuan, semua diskriminasi atas
dasar ras, suku dan budaya.
Berdasarkan uaraian di atas, tantangan etika politik
paling serius di Indonesia sekarang adalah:
- Kemiskinan, ketidakpedulian dan kekerasan sosial.
- Ekstremisme ideologis yang anti pluralism, pertama-tama ekstremisme agama dimana mereka yang merasa tahu kehendak Tuhan merasa berhak juga memaksakan pendapat mereka pada masyarakat.
- Korupsi.
D.
Demensi Manusia Politik
a. Manusia Sebagai Makhluk
Individu-Sosial
Berbagai paham antropologi filsafat
memandang hakikat sifat kodrat manusia, dari kacamata yang berbeda-beda. Paham individualism
yang merupakan bakal paham liberalisme, memandang manusia sebagai makhluk
individu yang bebas, Konsekuensinya dalam setiap kehidupan masyarakat, bangsa,
maupun negara dasar merupakan dasar moral politik negara. Segala hak dan
kewajiban dalam kehidupan bersama senantiasa diukur berdasarkan kepentingan dan
tujuan berdasarkan paradigma sifat kodrat manusia sebagai individu. Sebaliknya
kalangan kolektivisme yang merupakan cikal bakal sosialisme dan komunisme
mamandang siafat manusia sebagi manusia social. Individu menurut paham
kolekvitisme dipandang sebagai sarana bagi amasyarakat. Oleh karena itu
konsekuensinya segala aspek dalam realisasi kehidupan masyarakat, bangsa dan
negara paham kolektivisme mendasarkan kepada sifat kodrat manusia sebagai
makhluk sosial. Segala hak dan kewajiban baik moral maupun hukum, dalam
hubungan masyarakat, bangsa dan negara senantiasa diukur berdasarkan filsofi
manusia sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk yang berbudaya,
kebebasan sebagi invidu dan segala aktivitas dan kreatifitas dalam hidupnya
senantiasa tergantung pada orang lain, hal ini dikarenakan manusia sebagai
masyarakat atau makhluk sosial. Kesosialanya tidak hanya merupakan tambahan
dari luar terhadap individualitasnya, melainkan secara kodrati manusia
ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa tergantung pada orang lain.[8]
Manusia didalam hidupnya mampu
bereksistensi kare orang lain dan ia hanya dapat hidup dan berkembang karena
dalam hubunganya dengan oranglain.Dasar filosofi sebagaimana terkandung dalam
pancasila yang nilainya terdapat dalam budaya bangsa, senantiasa mendasarkan
hakikat sifat kodrat manusia adalah monodualis yaitu sbagai makhlukindividu dan
sekaligus sebagai makhluk sosial. Maka sifat serta ciri khas kebangsaan dan
kenegaraan indonesia bukanlah totalis individualistis. Secara moralitas negara
bukanlah hanya demi tujuan kepentingan dan kkesejahteraan individu maupun
masyarakat secara bersama. Dasar ini merupakan basis moralitas bagi pelaksanaan
dan penyelenggaraan negara, sehingga konsekuensinya segala keputusan,
kebijaksanaan serta arah dari tujuan negara indonesia harus dapat dikembalikan
secara moral kepada dasar-dasar tersebut.
b.Demensi Politis
Kehidupan Manusia
Dimensin politis
manusia senantiasa berkaitan dengan kehidupan negara dan hukum, sehingga
senantiasa berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan.Dimensi ini
memiliki dua segi fundamental yaitu pengertian dan kehendak untuk bertindak.
Sehingga dua segi fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek kehidupan
manusia. Dua aspek ini yang senantiasa berhadapan dengan tindakan moral
manusia, sehingga mausia mengerti dan memahami akan suatu kejadian atau akibat
yang ditimbulkan karena tindakanya, akan tetapi hal ini dapat dihindarkan
karena kesadaran moral akan tanggung jawabnya terhadap manusia lain dan
masyarakat. Apabila pada tindakan moralitas kehidupan manusia tidak dapat
dipenuhi oleh manusia dalam menghadapai hak orang lain dalam masyarakat, maka
harus dilakukan suatu pembatasan secara normatif. Lembaga penata normatif
masyarakat adalah hukum. Dalam suatu kehidupan masyarakat hukumlah yang
memberitahukan kepada semua anggota masyarakat bagaimana mereka harus
bertindak. Hukum hanya bersifat normatif dan tidak secara efektif dan otomatis
menjamin agar setiap anggota masyarakat taat kepada norma-normanya. Oleh karena
itu yang secara efektif dapat menentukan kekuasaan masyarakat hanyalah yang
mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya, dan lemabaga itu adalah
negara. Penataan efektif adalah penataan de facto, yaitu penatan yang
berdasarkan kenyataan menentukan kelakuan masyarakat. Namun perlu dipahami
bahwa negara yang memiliki.
E. Nilai – nilai Pancasila Sebagai
Sumber Etika Politik
Sebagi dasar filsafah negara
pancasila tidak hanya merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan,
malainkan juga merupakan sumber moraliatas terutama dalam hubunganya dengan
legitimasi kekuasaan, hukum serta sebagai kebijakan dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara. Sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” serta sila ke
dua “kemanusiaan yang adoil dan beradab” adalah merupakan sumber nilai-nilai
moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, Etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijlankan sesuai dengan Asas legalitas (Legitimasi hukum) , secara demokrasi (legitimasi demokrasi) dan dilaksanakan berdasrkan prinsip-prinsip moral (legitimasi moral). (Suseno, 1987 :115). Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara baik menyangkut kekuasaan, kebijaksanaan yang menyangkut publik, pembagian serta kewenagan harus berdasarkan legitimimasi moral religius serta moral kemanusiaan. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaran negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, Etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijlankan sesuai dengan Asas legalitas (Legitimasi hukum) , secara demokrasi (legitimasi demokrasi) dan dilaksanakan berdasrkan prinsip-prinsip moral (legitimasi moral). (Suseno, 1987 :115). Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara baik menyangkut kekuasaan, kebijaksanaan yang menyangkut publik, pembagian serta kewenagan harus berdasarkan legitimimasi moral religius serta moral kemanusiaan. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaran negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMUPALAN
Etika Politik adalah filsafat moral
tentang dimensi politis kehidupan manusia. Bidang pembahasan dan metode etika
politik. Pertama etika politik ditempatkan ke dalam kerangka filsafat pada
umumnya. Kedua dijelaskan apa yang dimaksud dengan dimensi politis manusia.
Ketiga dipertanggungjawabkan cara dan metode pendekatan etika politik terhadap
dimensi politis manusia itu.
B. SARAN
Pancasila hendaknya disosialisasikan
secara mendalam sehingga dalam kehidupan bermasyarakat dalam berbagai segi
terwujud dengan adanya kesianambungan usaha pemerintah untuk mewujudkan
masyarakat adil dan makmur dengan kepastian masyarakat untuk mengikuti dan
mentaati peraturan yang ditetapkan, karena kekuatan politik suatu negara
ditentukan oleh kondisi pemerintah yang absolut dengan adanya dukungan rakyat
sebagai bagian terpenting dari terbentuknya suatu negara.
Sumber: http://dewi-mulya.blogspot.com/2012/06/pancasila-sebagai-etika-politik.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar