*Etika Politik Pemerintah Daerah
Karena pemerintahan itu sendiri
menyangkut pencapaian tujuan negara (dimensi
politis), maka dalam perkembangannya etika pemerintahan tersebut berkaitan
dengan etika politik. Etika politik subjeknya adalah negara, sedangkan etika pemerintahan subjeknya adalah pejabat dan para
pegawai. Etika politik berhubungan dengan
dimensi politik kehidupan manusia, yaitu berhubungan dengan
pelaksanaan sistem politik seperti tatanan politik, legitimasi dan kehidupan berpolitik. Bentuk nilai keutamaannya
seperti demokrasi, martabat manusia,
kesejahteraan warga negara, dan kebebasan berpendapat. Etika politik juga mengharuskan sistem politik
menjunjung nilai-nilai keutamaan yang
harus dapat dipertanggungjawabkan secara etis maupun normatif. Misalnya legitimasi politik harus dapat
dipertanggungjawabkan demikian juga tatanan
kehidupan politik dalam suatu negara. Etika
pemerintahan berhubungan dengan keutamaan-keutamaan yang harus dilaksanakan oleh para pejabat dan pegawai
pemerintahan. Karena itu dalam etika pemerintahan membahas
perilaku penyelenggara pemerintahan, terutama penggunaan kekuasaan,
wewenang termasuk legitimasi kekuasaan dalam kaitannya dengan tingkah laku yang baik atau buruk. Wujud etika pemerintahan
tersebut adalah aturan-aturan
ideal yang dinyatakan dalam undang-undang dasar baik yang dikatakan oleh dasar
negara maupun dasar-dasar perjuangan negara, serta etika pegawai
pemerintahan. Wujudnya di Indonesia adalah Pembukaan Undang-Undang Dasr 1945
sekaligus Pancasila sebagai dasar negara, serta doktrin dan etika Pegawai
Negeri Sipil.
Doktrin Pegawai Negeri Sipil
dinamakan “Bhinneka Karya Abdi Negara”
yaitu walaupun anggota-anggota
KORPRI melaksanakan tugas di berbagai bidang dan jenis karya yang beraneka
ragam, tetapi adalah dalam rangka pelaksanaan pengabdian kepada bangsa,
negara dan masyarakat Indonesia. Etika Pegawai Negeri
Sipil disebut dengan “Panca Prasetya
KORPRI”, yaitu anggota KO
RPRI beriman kepada Tuhan Yang Maha
Esa adalah insan yang:
1.Setia dan taat kepada negara
kesatuan dan pemerintah Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
2.Menjunjung tinggi kehormatan
bangsa dan negara serta memegang teguh rahasia jabatan dan rahasia negara.
3.Mengutamakan kepentingan negara
dan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan. 4.Bertekad
memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta kesetiakawanan KORPRI
5.Berjuang menegakkan kejujuran dan
keadilan, serta meningkatkan kesejahteraan dan profesionalisme. (Dharma
Setyawan Salam, 2004: 64-65) Widjaja (Dharma Setyawan Salam, 2004: 67) mengatakan
bahwa etika berupa ajaran untuk mencapai tujuan dalam mewujudkan
pemerintahan yang stabil dan berwibawa menghendaki kondisi yang baik dari
pelaksana-pelaksananya. Dalam rangka menegakkan suatu pemerintahan yang baik,
bersih dan berwibawa, maka etika pemerintahan juga harus memperhatikan
perkembangan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara sebagai
hubungan yang sinergis antara negara, swasta dan masyarakat. Sejarah
pemerintahan di Indonesia membuktikan bahwa etika pegawai negeri yang tercantum
dalam Panca Prasetya KORPRI maupun yang diatur secara tersirat dalam peraturan
perundang-undangan yang ada belum mampu menjadi pedoman perilaku bagi
pejabat dan Pegawai Negeri Sipil di Indonesia. Misalnya, praktik-
praktik penyalahgunaan wewenang
serta korupsi, kolusi dan nepotisme tetap marak dalam setiap babakan sejarah
pemerintahan di Indonesia. Karena itu etika pemerintahan harus
diimplementasikan secara tegas dalam bentuk peraturan perundang-undangan
(baik undang-undang maupun peraturan daerah). Pembuatan undang-undang etika
pemerintahan ini didasarkan pada hakikat pemerintahan berdasarkan
pandangan etika pemerintahan adalah penerapan suatu kewenangan yang berdaulat
secara berkelanjutan berupa penataan, pengaturan, penertiban, pengamanan
dan perlindungan terhadap sekelompok manusia untuk mencapai tujuan tertentu
baik secara arbiter maupun berdasar pada peraturan perundang-undangan. Di
samping itu, pembuatan undang-undang etika pemerintahan ini merupakan salah
satu upaya untuk mencapai tujuan etika kepemerintahan, yaitu:
1.Menciptakan pemerintahan yang
adil, bersih dan berwibawa.
2.Menempatkan segala perkara pada
tempatnya sesuai dengan kodrat, harkat, martabat manusia serta sesuai dengan
fungsi, peran dan misi pemerintahan.
3.Terciptanya masyarakat demokratis.
4.Terciptanya
ketertiban, kedamaian, kesejahteraan dan kepedulian.
Dapat disimpulkan bahwa
pemerintahan pada dasarnya merupakan upaya menjalankan kekuasaan untuk mencapai
tujuan tertentu. Namun demikian, dalam menjalankan pemerintahan itu, penguasa
(termasuk aparatur pemerintahan daerah) harus bersikap adil, jujur, menjunjung
tinggi hukum dan memanusiakan manusia. Karena itu dalam etika pemerintahan,
memerintah berarti menerapkan kekuasaa secara adil (baik secara hukum alam
maupun hukum positif) dan memanusiakan manusia sesuai dengan harkat dan
martabatnya. Implikasinya dalam menerapkan kekuasaan tidak berdasarkan kekuasan
fisik tetapi berdasr asas kesamaan/kesetaraan, kebebasan,
kepedulian/solidaritas, dan menjunjung tinggi hukum. Dengan penerapan asas ini
maka diharapkan penyalahgunaan wewenang dan kesewenang-wenangan dapat
dihindari. Sebaliknya, penyelenggaraan pemerintahan (pemerintahan daerah) juga
memerlukan kekuasaan dalam bentuk wewenang dan otoritas. Dengan kekuasaan ini,
pemerintah (pemerintah daerah) memiliki hak untuk menuntut ketaatan dan
memberi perintah kepada orang-orang yang diatur atau diperintahnya. Namun
demikian, kekuasaan, wewenang, otoritas serta hak-hak yang melekat itu harus
memiliki legitimasi (keabsahan) berdasarkan norma tertentu. Di samping itu,
sudah menjadi kewajiban moral bagi aparatur pemerintahan untuk
mempertanggungjawabkan segala sikap dan perilakunya. Syarat-syarat yang perlu
dipenuhi oleh aparatur pemerintahan daerah dalam setiap perbuatan hukumnya agar
dapat diterima oleh masyarakat adalah sebagai berikut:
1.Efektifitas.
Kegiatan harus mengenai sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan atau
direncanakan.
2.Legitimasi.
Kegiatan pemerintah daerah harus dapat diterima masyarakat dan lingkungannya.
3.Perbuatan para aparatur pemerintahan tidak boleh melanggar hukum.
4.Legalitas.
Semua perbuatan yang dilakukan oleh pemerintah harus berdasarkan hukum
yang jelas.
5.Moralitas.
Moral dan etika umum maupun kedinasan wajib dijunjung tinggi.
6.Efisiensi. Kehematan biaya dan
produiktivitas wajib diusahan setinggi-tingginya.
7.Teknik dan teknologi yang
setinggi-tingginya wajib dipakai untuk mengembangkan atau mempertahankan mutu
prestasi yang sebaik-baiknya. (Dharma Setyawan Salam, 2004: 88-89)
*Pelanggaran etika politik oleh
pemerintah daerah
Pelanggaran etika politik terjadi
ketika para aparatur daerah tidak lagi mengindahkan etika politik dalam
pemerintahannya. Pelanggaran yang marak terjadi di Indonesia adalah korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Salah satunya adalah yang terjadi baru-baru ini di
provinsi Banten. Yaitu, tindak KKN yang dilakukan oleh gubernur Banten, Ratu
Atut Chosiyah. Yang paling jelas terlihat dari tindak KKn Ratu Atut adalah
adanya politik dinasti pemerintahan, dimana banyak anggota keluarga dan
orang-orang terdekat Ratu Atut yang menjabat di pemerintahan. Dinasti politik keluarga Gubernur banten, Ratu Atut Chosiyah, dinilai tidak berkualitas dan merusak
tatanan demokrasi. Hal itu diperparah dengan
cara-cara kotor dan korupsi untuk meraih jabatan. Sebenarnya tidak ada larangan bagi setiap warga
negara untuk berpolitik, namun ketika
mereka dipaksakan menjadi pejabat publik tanpa melalui tahapan dan seleksi, maka hasilnya tidak akan maksimal Dinasti politik terjadi tidak hanya karena pejabat
dan kroni-kroninya melainkan juga
ditentukan oleh partispasi rakyat. Sebagai pemilih, rakyat tidak memperhatikan latar belakang orang yang dipilihnya
namun lebih pada money politik yang akan diterimanya.rakyat
sebagai pemilih sering terbuai dengan berapa uang
yang diterima untuk memilih calon pemimpin mereka. Dalam politik, aturan pembatasan dinasti politik tidak
bisa dilakukan karena melanggar hak asasi
manusia. Pasalnya, setiap warga negara mempunyai berpolitik untuk memilih dan dipilih. Dalam hal ini yang perlu
diatur adalah proses kompetisinya.
Semuanya harus melewati tahapan dan fase yang sama, tidak ada pembedaan.
Jangan sampai seseorang bisa dengan mudah mendapat jabatan hanya kaerna dia adalah kerabat dari seorang pejabat yang
lebih tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar