Minggu, 20 April 2014

Etika Politik Pemerintah Daerah

*Etika Politik Pemerintah Daerah
 Karena pemerintahan itu sendiri menyangkut pencapaian tujuan negara (dimensi politis), maka dalam perkembangannya etika pemerintahan tersebut  berkaitan dengan etika politik. Etika politik subjeknya adalah negara, sedangkan etika pemerintahan subjeknya adalah pejabat dan para pegawai. Etika politik berhubungan dengan dimensi politik kehidupan manusia, yaitu  berhubungan dengan pelaksanaan sistem politik seperti tatanan politik, legitimasi dan kehidupan berpolitik. Bentuk nilai keutamaannya seperti demokrasi, martabat manusia, kesejahteraan warga negara, dan kebebasan berpendapat. Etika politik juga mengharuskan sistem politik menjunjung nilai-nilai keutamaan yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara etis maupun normatif. Misalnya legitimasi politik harus dapat dipertanggungjawabkan demikian juga tatanan kehidupan politik dalam suatu negara. Etika pemerintahan berhubungan dengan keutamaan-keutamaan yang harus dilaksanakan oleh para pejabat dan pegawai pemerintahan. Karena itu dalam etika  pemerintahan membahas perilaku penyelenggara pemerintahan, terutama  penggunaan kekuasaan, wewenang termasuk legitimasi kekuasaan dalam kaitannya dengan tingkah laku yang baik atau buruk. Wujud etika pemerintahan tersebut adalah aturan-aturan ideal yang dinyatakan dalam undang-undang dasar baik yang dikatakan oleh dasar negara maupun dasar-dasar perjuangan negara, serta etika pegawai pemerintahan. Wujudnya di Indonesia adalah Pembukaan Undang-Undang Dasr 1945 sekaligus Pancasila sebagai dasar negara, serta doktrin dan etika Pegawai  Negeri Sipil.
Doktrin Pegawai Negeri Sipil dinamakan “Bhinneka Karya Abdi Negara”
yaitu walaupun anggota-anggota KORPRI melaksanakan tugas di berbagai bidang dan jenis karya yang beraneka ragam, tetapi adalah dalam rangka pelaksanaan  pengabdian kepada bangsa, negara dan masyarakat Indonesia. Etika Pegawai Negeri
Sipil disebut dengan “Panca Prasetya KORPRI”, yaitu anggota KO
RPRI beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah insan yang:
1.Setia dan taat kepada negara kesatuan dan pemerintah Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2.Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara serta memegang teguh rahasia jabatan dan rahasia negara.
3.Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan  pribadi dan golongan. 4.Bertekad memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta kesetiakawanan KORPRI
5.Berjuang menegakkan kejujuran dan keadilan, serta meningkatkan kesejahteraan dan profesionalisme. (Dharma Setyawan Salam, 2004: 64-65) Widjaja (Dharma Setyawan Salam, 2004: 67) mengatakan bahwa etika  berupa ajaran untuk mencapai tujuan dalam mewujudkan pemerintahan yang stabil dan berwibawa menghendaki kondisi yang baik dari pelaksana-pelaksananya. Dalam rangka menegakkan suatu pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa, maka etika pemerintahan juga harus memperhatikan perkembangan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara sebagai hubungan yang sinergis antara negara, swasta dan masyarakat. Sejarah pemerintahan di Indonesia membuktikan bahwa etika pegawai negeri yang tercantum dalam Panca Prasetya KORPRI maupun yang diatur secara tersirat dalam peraturan perundang-undangan yang ada belum mampu menjadi pedoman  perilaku bagi pejabat dan Pegawai Negeri Sipil di Indonesia. Misalnya, praktik- praktik penyalahgunaan wewenang serta korupsi, kolusi dan nepotisme tetap marak dalam setiap babakan sejarah pemerintahan di Indonesia. Karena itu etika pemerintahan harus diimplementasikan secara tegas dalam  bentuk peraturan perundang-undangan (baik undang-undang maupun peraturan daerah). Pembuatan undang-undang etika pemerintahan ini didasarkan pada hakikat  pemerintahan berdasarkan pandangan etika pemerintahan adalah penerapan suatu kewenangan yang berdaulat secara berkelanjutan berupa penataan, pengaturan,  penertiban, pengamanan dan perlindungan terhadap sekelompok manusia untuk mencapai tujuan tertentu baik secara arbiter maupun berdasar pada peraturan  perundang-undangan. Di samping itu, pembuatan undang-undang etika pemerintahan ini merupakan salah satu upaya untuk mencapai tujuan etika kepemerintahan, yaitu:
1.Menciptakan pemerintahan yang adil, bersih dan berwibawa.
2.Menempatkan segala perkara pada tempatnya sesuai dengan kodrat, harkat, martabat manusia serta sesuai dengan fungsi, peran dan misi pemerintahan.
3.Terciptanya masyarakat demokratis.
4.Terciptanya ketertiban, kedamaian, kesejahteraan dan kepedulian. 

 Dapat disimpulkan bahwa pemerintahan pada dasarnya merupakan upaya menjalankan kekuasaan untuk mencapai tujuan tertentu. Namun demikian, dalam menjalankan pemerintahan itu, penguasa (termasuk aparatur pemerintahan daerah) harus bersikap adil, jujur, menjunjung tinggi hukum dan memanusiakan manusia. Karena itu dalam etika pemerintahan, memerintah berarti menerapkan kekuasaa secara adil (baik secara hukum alam maupun hukum positif) dan memanusiakan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya. Implikasinya dalam menerapkan kekuasaan tidak berdasarkan kekuasan fisik tetapi berdasr asas kesamaan/kesetaraan, kebebasan, kepedulian/solidaritas, dan menjunjung tinggi hukum. Dengan penerapan asas ini maka diharapkan penyalahgunaan wewenang dan kesewenang-wenangan dapat dihindari. Sebaliknya, penyelenggaraan pemerintahan (pemerintahan daerah) juga memerlukan kekuasaan dalam bentuk wewenang dan otoritas. Dengan kekuasaan ini,  pemerintah (pemerintah daerah) memiliki hak untuk menuntut ketaatan dan memberi perintah kepada orang-orang yang diatur atau diperintahnya. Namun demikian, kekuasaan, wewenang, otoritas serta hak-hak yang melekat itu harus memiliki legitimasi (keabsahan) berdasarkan norma tertentu. Di samping itu, sudah menjadi kewajiban moral bagi aparatur pemerintahan untuk mempertanggungjawabkan segala sikap dan perilakunya. Syarat-syarat yang perlu dipenuhi oleh aparatur pemerintahan daerah dalam setiap perbuatan hukumnya agar dapat diterima oleh masyarakat adalah sebagai berikut: 

1.Efektifitas. Kegiatan harus mengenai sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan atau direncanakan.
2.Legitimasi. Kegiatan pemerintah daerah harus dapat diterima masyarakat dan lingkungannya. 3.Perbuatan para aparatur pemerintahan tidak boleh melanggar hukum.
4.Legalitas. Semua perbuatan yang dilakukan oleh pemerintah harus  berdasarkan hukum yang jelas.
5.Moralitas. Moral dan etika umum maupun kedinasan wajib dijunjung tinggi.
6.Efisiensi. Kehematan biaya dan produiktivitas wajib diusahan setinggi-tingginya.
7.Teknik dan teknologi yang setinggi-tingginya wajib dipakai untuk mengembangkan atau mempertahankan mutu prestasi yang sebaik-baiknya. (Dharma Setyawan Salam, 2004: 88-89)

*Pelanggaran etika politik oleh pemerintah daerah
 Pelanggaran etika politik terjadi ketika para aparatur daerah tidak lagi mengindahkan etika politik dalam pemerintahannya. Pelanggaran yang marak terjadi di Indonesia adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme. Salah satunya adalah yang terjadi  baru-baru ini di provinsi Banten. Yaitu, tindak KKN yang dilakukan oleh gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah. Yang paling jelas terlihat dari tindak KKn Ratu Atut adalah adanya politik dinasti pemerintahan, dimana banyak anggota keluarga dan orang-orang terdekat Ratu Atut yang menjabat di pemerintahan. Dinasti politik keluarga Gubernur banten, Ratu Atut Chosiyah, dinilai tidak berkualitas dan merusak tatanan demokrasi. Hal itu diperparah dengan cara-cara kotor dan korupsi untuk meraih jabatan. Sebenarnya tidak ada larangan bagi setiap warga negara untuk berpolitik, namun ketika mereka dipaksakan menjadi pejabat publik tanpa melalui tahapan dan seleksi, maka hasilnya tidak akan maksimal Dinasti politik terjadi tidak hanya karena pejabat dan kroni-kroninya melainkan juga ditentukan oleh partispasi rakyat. Sebagai pemilih, rakyat tidak memperhatikan latar belakang orang yang dipilihnya namun lebih pada money  politik yang akan diterimanya.rakyat sebagai pemilih sering terbuai dengan berapa uang yang diterima untuk memilih calon pemimpin mereka. Dalam politik, aturan pembatasan dinasti politik tidak bisa dilakukan karena melanggar hak asasi manusia. Pasalnya, setiap warga negara mempunyai berpolitik untuk memilih dan dipilih. Dalam hal ini yang perlu diatur adalah proses kompetisinya. Semuanya harus melewati tahapan dan fase yang sama, tidak ada  pembedaan. Jangan sampai seseorang bisa dengan mudah mendapat jabatan hanya kaerna dia adalah kerabat dari seorang pejabat yang lebih tinggi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar