Dalam konteks inilah agaknya
pembicaraan tentang etika politik menjadi relevan. Haryatmoko (2003)
menjelaskan pentingnya pembahasan mengenai etika politik setidaknya
karena tiga alasan. Pertama, betapa pun kasar dan tidak santunnya suatu
politik, tindakannya tetap membutuhkan legitimasi.
Legitimasi
tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral,
nilai-nilai, hukum atau peraturan perundangan. Di sinilah letak celah di
mana etika politik dapat berbicara dengan otoritas. Kedua, etika
politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak adil
akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati
dan reaksi indignation (terusik dan protes terhadap ketidakadilan).
Keberpihakan
pada korban tidak akan menoleransi politik yang kasar. Jeritan korban
adalah berita duka bagi etika politik. Ketiga, pertarungan kekuasaan dan
konflik kepentingan
yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran tentang perlunya
penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian semacam ini tidak akan
terwujud bila tidak mengacu pada etika politik. Pernyataan "perubahan harus konstitusional" menunjukkan bahwa etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja.
Tujuan etika politik
adalah mengarahkan ke hidup yang baik, bersama dan untuk orang lain,
dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun
institusi-institusi yang adil. Definisi etika politik ini membantu
menganalisis korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan
struktur-struktur yang ada. Dalam perspektif ini, pengertian etika politik
mengandung tiga tuntutan: (1) upaya hidup baik bersama dan untuk orang
lain; (2) upaya memperluas lingkup kebebasan; dan (3) membangun
institusi-institusi yang adil.
Tiga tuntutan
tersebut saling terkait. "Hidup bersama dan untuk orang lain" tidak
mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka
institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita
kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan.
Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan yang
mencegah warga negara atau kelompok-kelompok dari perbuatan yang saling
merugikan. Kebebasan warga negara mendorong inisiatif dan sikap kritis
terhadap institusi-institusi yang tidak adil.
Pengertian kebebasan
yang terakhir ini dimaksudkan sebagai syarat fisik, sosial, dan politik
yang perlu demi pelaksanaan konkret kebebasan atau democratic
liberties: kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan
mengeluarkan pendapat, dan sebagainya.
Dalam konteks ini pembicaraan mengenai ingatan sosial erat
kaitannya dengan etika politik. Apalagi, pelbagai kasus kekerasan dan
pembunuhan massal selalu terulang di Indonesia. Dari pengalaman ini
orang mulai curiga jangan- jangan tiadanya proses hukum terhadap
kekerasan dan pembunuhan yang terjadi merupakan upaya sistematik untuk
mengubur ingatan sosial.
Ingatan bukan
sekadar bekas goresan, tetapi mengenal kembali bekas-bekas goresan itu.
Banyak dari bekas goresan ingatan manusia terhapus dan dilupakan.
Ingatan bukan keseluruhan dari masa lalu, tetapi bagian dari masa lalu
yang terus hidup dalam diri orang atau kelompok masyarakat yang tunduk
pada representasi dan sudut pandang dewasa ini. Maka, mengingat
melibatkan usaha untuk memberi makna, upaya memverifikasi
hipotesis-hipotesis pengingat, membangun-kembali makna.
Karenanya, menghidupkan kembali ingatan sosial berarti
membangun bersama proyek perdamaian dan berusaha tidak mengulangi
kekeliruan masa lampau yang tragis, yang masih menghantui dan melukai
ingatan sosial. Bangsa yang tanpa ingatan sosial adalah bangsa tanpa
masa depan.
Paul Ricoeur mengingatkan akan pentingnya ingatan itu dengan ungkapan sebagai berikut:
We
must remember because remembering is a moral duty. We owe a debt to the
victims. And the tiniest way of paying out debt is to tell and retell
what happened… by remembering and telling, we not only prevent
forgetfullness from killing the victims twice; we also prevent their
life stories from becoming banal… and the events from appearing as
necessary.
Sumber : http://sosialsosial-ekonomi.blogspot.com/2009/12/etika-politik.html
RUSLANI Mahasiswa S2 Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar