BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Banyak orang yang mengatakan bahwa dunia cyber (cyberspace)
tidak dapat diatur. Cyberspace adalah dunia maya dimana tidak ada lagi
batas ruang dan waktu. Padahal ruang dan waktu seringkali dijadikan
acuan hukum. Jika seorang warga Indonesia melakukan transaksi dengan
sebuah perusahaan Inggris yang menggunakan server di Amerika, dimanakah
(dan kapan) sebenarnya transaksi terjadi? Hukum mana yang digunakan?
Cyberlaw merupakan salah satu topik yang hangat dibicarakan
akhir-akhir ini. Di Indonesia telah keluar dua buah Rancangan
Undang-Undang (RUU). Yang satu diberi nama: “RUU Pemanfaatan Teknologi
Informasi” (PTI), sementara satunya lagi bernama “RUU Transaksi
Elektronik”. RUU PTI dimotori oleh Fakultas Hukum Universitas Pajajaran
dan Tim Asistensi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan jalur
Departemen Perhubungan (melalui Dirjen Postel), sementar RUU TE dimotori
oleh Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi dari Universitas Indonesia
dengan jalur Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
1.2 Rumusan Masalah
a.) Mengerti apa yang dimaksud Cyber crime dan Cyber Law
b.) Menjelaskan Hukum-Hukum Cryber Crime.
c.) Menjelaskan mengenai Pencemaran Nama Baik.
1.3 Tujuan Penulisan
Makalah ini secara khusus ingin mengaplikasikan teori mata kuliah
Etika Profesi Teknologi Informasi dan Komunikasi dengan mencari
referensi dan menyebarkan informasinya melalui desain blog,untuk lebih
memahami tentang apa itu cybercrime dan Cyberlaw berikut
karakteristiknya dan seluk beluknya, dan juga disediakan pula beberapa
contoh kasus untuk bisa lebih menerangkan Cyberlaw.
Selain itu,makalah ini juga dibuat untuk mendapatkan nilai Ujian
Akhir Semester IV mata kuliah Etika Profesi Teknologi Informasi dan
Komunikasi yang menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi ( KBK ).
1.4 Metode Penelitian
Makalah ini disususn berdasarkan hasil pencarian melalui internet
dengan tak lupa mencantumkan sumber-sumber yang kami rangkum dalam
daftar pustaka. Selain melakukan pencarian melalui internet kami juga
mencari referensi lain dalam buku-buku yang terkait dengan cybercrime
dan hukum penanganannya.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Cybercrime
Cybercrime merupakan bentuk-bentuk kejahatan yang timbul karena
pemanfaatan teknologi internet.Beberapa pendapat mengidentikkan
cybercrime dengan computer crime. The U.S. department of Justice
memberikan pengertian computer crime sebagai : “…any illegal act
requiring knowledge of computer technology for its perpetration,
investigation, or prosecution”.
Pengertian tersebut identik dengan yang diberikan Organization of
European Community Development, yang mendefinisikan computer
crime sebagai: “any illegal, unehtical or unauthorized behavior relating
to the automatic processing and/or the transmission of data”.
Adapun Andi Hamzah (1989) dalam tulisannya “Aspek-aspek Pidana di
Bidang komputer”, mengartikan kejahatan komputer sebagai: ”Kejahatan di
bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer
secara illegal”. Dari beberapa pengertian di atas, secara ringkas dapat
dikatakan bahwa cybercrime dapat didefinisikan sebagai perbuatan
melawan hukum yang dilakukan dengan menggunakan internet yang berbasis
pada kecanggihan teknologi komputer dan telekomunikasi.
2.2 Karakteristik Cybercrime
Selama ini dalam kejahatan konvensional, dikenal adanya dua jenis kejahatan sebagai berikut:
- Kejahatan kerah biru (blue collar crime)
Kejahatan ini merupakan jenis kejahatan atau tindak kriminal yang
dilakukan secara konvensional seperti misalnya perampokkan, pencurian,
pembunuhan dan lain-lain.
- Kejahatan kerah putih (white collar crime)
Kejahatan jenis ini terbagi dalam empat kelompok kejahatan, yakni
kejahatan korporasi, kejahatan birokrat, malpraktek, dan kejahatan
individu.
2.3 Jenis Cybercrime
2.3.1 Berdasarkan jenis aktifitas
Berdasarkan jenis aktifitas yang di lakukannya, cybercrime dapat digolongkan menjadi beberapa jenis sebagai berikut:
- a. Unauthorized Access
Merupakan kejahatan yang terjadi ketika seseorang memasuki atau
menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa
izin, atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer
yang dimasukinya. Probing dan port merupakan contoh kejahatan ini.
- b. Illegal Contents
Merupakan kejahatn yang dilakukan dengan memasukkan data atau
informasi ke internet tentang suatu hal yang tidak benar, tidak etis,
dan dapat dianggap melanggar hukum atau menggangu ketertiban umum,
contohnya adalah penyebaran pornografi.
- c. Penyebaran virus secara sengaja
Penyebaran virus pada umumnya dilakukan dengan menggunakan
email.Sering kali orang yang sistem emailnya terkena virus tidak
menyadari hal ini. Virus ini kemudian dikirimkan ke tempat lain melalui
emailnya.
- d. Data Forgery
Kejahatan jenis ini dilakukan dengan tujuan memalsukan data pada
dokumen-dokumen penting yang ada di internet. Dokumen-dokumen ini
biasanya dimiliki oleh institusi atau lembaga yang memiliki situs
berbasis web database.
- e. Cyber Espionage, Sabotage, and Extortion
Cyber Espionage merupakan kejahatan yang memanfaatkan jaringan
internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain, dengan
memasuki sistem jaringan komputer pihak sasaran. Sabotage and Extortion
merupakan jenis kejahatan yang dilakukan dengan membuat gangguan,
perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau
sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet.
- f. Cyberstalking
Kejahatan jenis ini dilakukan untuk mengganggu atau melecehkan
seseorang dengan memanfaatkan komputer, misalnya menggunakan e-mail dan
dilakukan berulang-ulang. Kejahatan tersebut menyerupai teror yang
ditujukan kepada seseorang dengan memanfaatkan media internet. Hal itu
bisa terjadi karena kemudahan dalam membuat email dengan alamat tertentu
tanpa harus menyertakan identitas diri yang sebenarnya.
- g. Carding
Carding merupakan kejahatan yang dilakukan untuk mencuri nomor kartu
kredit milik orang lain dan digunakan dalam transaksi perdagangan di
internet.
- h. Hacking dan Cracker
Istilah hacker biasanya mengacu pada seseorang yang punya minat besar
untuk mempelajari sistem komputer secara detail dan bagaimana
meningkatkan kapabilitasnya. Adapun mereka yang sering melakukan
aksi-aksi perusakan di internet lazimnya disebut cracker.Boleh
dibilang cracker ini sebenarnya adalah hacker yang yang memanfaatkan
kemampuannya untuk hal-hal yang negatif. Aktivitas cracking di internet
memiliki lingkup yang sangat luas, mulai dari pembajakan account milik
orang lain, pembajakan situs web, probing, menyebarkan virus, hingga
pelumpuhan target sasaran. Tindakan yang terakhir disebut sebagai DoS
(Denial Of Service). Dos attack merupakan serangan yang bertujuan
melumpuhkan target (hang, crash) sehingga tidak dapat memberikan
layanan.
- i. Cybersquatting and Typosquatting
Cybersquatting merupakan kejahatan yang dilakukan dengan mendaftarkan
domain nama perusahaan orang lain dan kemudian berusaha menjualnya
kepada perusahaan tersebut dengan harga yang lebih mahal. Adapun
typosquatting adalah kejahatan dengan membuat domain plesetan yaitu
domain yang mirip dengan nama domain orang lain. Nama tersebut merupakan
nama domain saingan perusahaan.
- j. Hijacking
Hijacking merupakan kejahatan melakukan pembajakan hasil karya orang
lain. Yang paling sering terjadi adalah Software Piracy (pembajakan
perangkat lunak).
- k. Cyber Terorism
Suatu tindakan cybercrime termasuk cyber terorism jika mengancam
pemerintah atau warganegara, termasuk cracking ke situs pemerintah atau
militer. Beberapa contoh kasus Cyber Terorism sebagai berikut :
1) Ramzi Yousef, dalang penyerangan pertama ke gedung WTC,
diketahui menyimpan detail serangan dalam file yang di enkripsi di
laptopnya.
2) Osama Bin Laden diketahui menggunakan steganography untuk komunikasi jaringannya.
3) Suatu website yang dinamai Club Hacker Muslim diketahui menuliskan daftar tip untuk melakukan hacking ke Pentagon.
4) Seorang hacker yang menyebut dirinya sebagai DoktorNuker
diketahui telah kurang lebih lima tahun melakukan defacing atau mengubah
isi halaman web dengan propaganda anti-American, anti-Israel dan
pro-Bin Laden.
2.3.2 Berdasarkan Motif Kegiatan
Berdasarkan motif kegiatan yang dilakukannya, cybercrime dapat digolongkan menjadi dua jenis sebagai berikut :
- a. Cybercrime sebagai tindakan murni kriminal
Kejahatan yang murni merupakan tindak kriminal merupakan kejahatan
yang dilakukan karena motif kriminalitas.Kejahatan jenis ini biasanya
menggunakan internet hanya sebagai sarana kejahatan. Contoh kejahatan
semacam ini adalah Carding, yaitu pencurian nomor kartu kredit milik
orang lain untuk digunakan dalam transaksi perdagangan di internet. Juga
pemanfaatan media internet (webserver, mailing list) untuk menyebarkan
material bajakan. Pengirim e-mail anonim yang berisi promosi (spamming)
juga dapat dimasukkan dalam contoh kejahatan yang menggunakan internet
sebagai sarana. Di beberapa negara maju, pelaku spamming dapat dituntut
dengan tuduhan pelanggaran privasi.
- b. Cybercrime sebagai kejahatan ”abu-abu”
Pada jenis kejahatan di internet yang masuk dalam wilayah ”abu-abu”,
cukup sulit menentukan apakah itu merupakan tindak kriminal atau bukan
mengingat motif kegiatannya terkadang bukan untuk kejahatan. Salah satu
contohnya adalah probing atau portscanning.Ini
adalah sebutan untuk semacam tindakan pengintaian terhadap sistem milik
orang lain dengan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari sistem
yang diintai, termasuk sistem operasi yang digunakan, port-port yang
ada, baik yang terbuka maupun tertutup, dan sebagainya.
2.3.3 Berdasarkan Sasaran Kejahatan
Sedangkan berdasarkan sasaran kejahatan, cybercrime dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori seperti berikut ini :
- a. Cybercrime yang menyerang individu (Against Person)
Jenis kejahatan ini, sasaran serangannya ditujukan kepada perorangan
atau individu yang memiliki sifat atau kriteria tertentu sesuai tujuan
penyerangan tersebut. Beberapa contoh kejahatan ini antara lain :
1.) Pornografi
Kegiatan yang dilakukan dengan membuat, memasang, mendistribusikan,
dan menyebarkan material yang berbau pornografi, cabul, serta mengekspos
hal-hal yang tidak pantas.
2.) Cyberstalking
Kegiatan yang dilakukan untuk mengganggu atau melecehkan seseorang
dengan memanfaatkan komputer, misalnya dengan menggunakan e-mail yang
dilakukan secara berulang-ulang seperti halnya teror di dunia
cyber.Gangguan tersebut bisa saja berbau seksual, religius, dan lain
sebagainya.
3.) Cyber-Tresspass
Kegiatan yang dilakukan melanggar area privasi orang lain seperti
misalnya Web Hacking. Breaking ke PC, Probing, Port Scanning dan lain
sebagainya.
- b. Cybercrime menyerang hak milik (Againts Property)
Cybercrime yang dilakukan untuk menggangu atau menyerang hak milik
orang lain. Beberapa contoh kejahatan jenis ini misalnya pengaksesan
komputer secara tidak sah melalui dunia cyber, pemilikan informasi
elektronik secara tidak sah/pencurian informasi, carding, cybersquating,
hijacking, data forgery dan segala kegiatan yang bersifat merugikan hak
milik orang lain.
- c. Cybercrime menyerang pemerintah (Againts Government)
Cybercrime Againts Government dilakukan dengan tujuan khusus penyerangan terhadap pemerintah.Kegiatan tersebut misalnya cyber terorism sebagai tindakan yang mengancam pemerintah termasuk juga cracking ke situs resmi pemerintah atau situs militer.
2.4 Pengertian Cyber Law
Cyber Law ialah sebuah aturan yang berbentuk hukum yang di buat
khusus untuk dunia digital atau internet. Dengan makin banyak dan
berkembangnya tindak kriminal dan kejahatan yang ada di dunia internet,
maka mau tidak mau hukum dan aturan tersebut harus di buat. Cyber law
sendiri ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan
orang perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan
teknologi internet yang dimulai pada saat mulai online dan memasuki
dunia cyber atau maya. Cyber Law sendiri merupakan istilah yang berasal
dari Cyberspace Law.
2.5 Topic Seputar Cyber law
Secara garis besar ada lima topic dari cyberlaw di setiap negara yaitu:
- a. Information security, menyangkut masalah keotentikan pengirim atau penerima dan integritas dari pesan yang mengalir melalui internet. Dalam hal ini diatur masalah kerahasiaan dan keabsahan tanda tangan elektronik.
- b. On-line transaction, meliputi penawaran, jual-beli, pembayaran sampai pengiriman barang melalui internet.
- c. Right in electronic information, soal hak cipta dan hak-hak yang muncul bagi pengguna maupun penyedia content.
- d. Regulation information content, sejauh mana perangkat hukum mengatur content yang dialirkan melalui internet.
- e. Regulation on-line contact, tata karma dalam berkomunikasi dan berbisnis melalui internet termasuk perpajakan, retriksi eksport-import, kriminalitas dan yurisdiksi hukum
2.6 Ruang Lingkup Cyber Law
Pembahasan mengenai ruang lingkup ”cyber law” dimaksudkan sebagai
inventarisasi atas persoalan-persoalan atau aspek-aspek hukum yang
diperkirakan berkaitan dengan pemanfaatan Internet. Secara garis besar
ruang lingkup ”cyber law” ini berkaitan dengan persoalan-persoalan atau
aspek hukum dari:
- a. E-Commerce,
- b. Trademark/Domain Names,
- c. Privacy and Security on the Internet,
- d. Copyright,
- e. Defamation,
- f. Content Regulation,
- g. Disptle Settlement, dan sebagainya.
2.7 Komponen dari Cyber law
- a. Pertama, tentang yurisdiksi hukum dan aspek-aspek terkait; komponen ini menganalisa dan menentukan keberlakuan hukum yang berlaku dan diterapkan di dalam dunia maya itu.
- b. Kedua, tentang landasan penggunaan internet sebagai sarana untuk melakukan kebebasan berpendapat yang berhubungan dengan tanggung jawab pihak yang menyampaikan, aspek accountability, tangung jawab dalam memberikan jasa online dan penyedia jasa internet (internet provider), serta tanggung jawab hukum bagi penyedia jasa pendidikan melalui jaringan internet.
- c. Ketiga, tentang aspek hak milik intelektual dimana adanya aspek tentang patent, merek dagang rahasia yang diterapkan serta berlaku di dalam dunia cyber.
- d. Keempat, tentang aspek kerahasiaan yang dijamin oleh ketentuan hukum yang berlaku di masing-masing yurisdiksi negara asal dari pihak yang mempergunakan atau memanfaatkan dunia maya sebagai bagian dari sistem atau mekanisme jasa yang mereka lakukan.
- e. Kelima, tentang aspek hukum yang menjamin keamanan dari setiap pengguna internet.
- f. Keenam, tentang ketentuan hukum yang memformulasikan aspek kepemilikan dalam internet sebagai bagian dari nilai investasi yang dapat dihitung sesuai dengan prinisip-prinsip keuangan atau akuntansi.
- g. Ketujuh, tentang aspek hukum yang memberikan legalisasi atas internet
- h. sebagai bagian dari perdagangan atau bisnis usaha.
2.8 Asas-asas Cyber Law
Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas yang biasa digunakan, yaitu :
- a. Subjective territoriality, yang menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain.
- b. Objective territoriality, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dimana akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan.
- c. Nationality, yang menentukan bahwa negara mempunyai jurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku.
- d. Passive Nationality, yang menekankan jurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban.
- e. Protective Principle, yang menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau pemerintah.
- f. Universality. Asas ini selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai “universal interest jurisdiction”. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian diperluas sehingga mencakup pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), misalnya penyiksaan, genosida, pembajakan udara dan lain-lain. Meskipun di masa mendatang asas jurisdiksi universal ini mungkin dikembangkan untuk internet piracy, seperti computer, cracking, carding, hacking and viruses, namun perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk kejahatan sangat serius berdasarkan perkembangan dalam hukum internasional.
- g. Oleh karena itu, untuk ruang cyber dibutuhkan suatu hukum baru yang menggunakan pendekatan yang berbeda dengan hukum yang dibuat berdasarkan batas-batas wilayah. Ruang cyber dapat diibaratkan sebagai suatu tempat yang hanya dibatasi oleh screens and passwords. Secara radikal, ruang cyber telah mengubah hubungan antara legally significant (online) phenomena and physical location.
2.9 Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Penyalahgunaan Informasi Dunia Maya
“Salah satu kemajuan terknologi informasi yang diciptakan pada akhir abad ke-20 adalah internet.
Jaringan komputer-komputer yang saling terhubung membuat hilangnya
batas-batas wilayah. Dunia maya menginternasionalisasi dunia nyata.
Dunia cyber yang sering disebut dunia maya menjadi titik awal akselerasi
distribusi informasi dan membuat dunia internasional menjadi tanpas
batas. “Teknologi informatika saat ini menjadi pedang bermata dua,
karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan,
kemajuan peradaban dunia, sekaligus menjadi sarana efektif melawan
hukum. Maka untuk menghadapi sifat melawan hukum yang terbawa dalam
perkembangan informasi data di dunia maya. Diperlukan sebuah perlawanan
dari hukum positif yang ada. “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana,
kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang
telah ada sebelumnya” hal ini adalah asas legalitas yang tertuang
dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). Hukum pidana merupakan salah satu instrumen dalam
menghadapi perbuatan melawan hukum. Maka perlu dikaji lebih mendalam
secara teoritik bagaimana kebijakan hukum pidana yang dalam faktanya
sering kalah satu langkah dengan tindak pidana. Dalam hal ini terhadap
kejahatan penyalahgunaan informasi data di dunia cyber.
Sesuai Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE) Pasal 1 angka 1
bahwa : “Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data
elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, poto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail),
telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode
Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
2.10 Perkembangan Cyberlaw di Indonesia
Inisiatif untuk membuat “cyberlaw” di Indonesia sudah dimulai sebelum
tahun 1999. Fokus utama waktu itu adalah pada “payung hukum” yang
generik dan sedikit mengenai transaksi elektronik. Pendekatan “payung”
ini dilakukan agar ada sebuah basis yang dapat digunakan oleh
undang-undang dan peraturan lainnya. Karena sifatnya yang generik,
diharapkan rancangan undang-undang tersebut cepat diresmikan dan kita
bisa maju ke yang lebih spesifik. Namun pada kenyataannya hal ini tidak
terlaksana.
Namun ternyata dalam perjalanannya ada beberapa masukan sehingga
hal-hal lain pun masuk ke dalam rancangan “cyberlaw” Indonesia. Beberapa
hal yang mungkin masuk antara lain adalah hal-hal yang terkait dengan
kejahatan di dunia maya (cybercrime), penyalahgunaan penggunaan komputer, hacking, membocorkan password, electronic banking,
pemanfaatan internet untuk pemerintahan (e-government) dan kesehatan,
masalah HaKI, penyalahgunaan nama domain, dan masalah privasi.
Penambahan isi disebabkan karena belum ada undang-undang lain yang
mengatur hal ini di Indonesia sehingga ada ide untuk memasukkan semuanya
ke dalam satu rancangan. Nama dari RUU ini pun berubah dari Pemanfaatan
Teknologi Informasi, ke Transaksi Elektronik, dan akhirnya menjadi RUU
Informasi dan Transaksi Elektronik. Di luar negeri umumnya materi ini
dipecah-pecah menjadi beberapa undang-undang. Ada satu hal yang menarik
mengenai rancangan cyberlaw ini yang terkait dengan teritori. Misalkan
seorang cracker dari sebuah negara Eropa melakukan pengrusakan
terhadap sebuah situs di Indonesia. Dapatkah hukum kita menjangkau sang
penyusup ini? Salah satu pendekatan yang diambil adalah jika akibat dari
aktivitas crackingnya terasa di Indonesia, maka Indonesia berhak
mengadili yang bersangkutan. Apakah kita akan mengejar cracker ini ke
luar negeri? Nampaknya hal ini akan sulit dilakukan mengingat
keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh kita. Yang dapat kita
lakukan adalah menangkap cracker ini jika dia mengunjungi
Indonesia. Dengan kata lain, dia kehilangan kesempatan / hak untuk
mengunjungi sebuah tempat di dunia. Pendekatan ini dilakukan oleh
Amerika Serikat.
2.11 Pasal dalam Undang-undang ITE
Pada awalnya kebutuhan akan Cyber Law di Indonesia berangkat
dari mulaibanyaknya transaksi-transaksi perdagangan yang terjadi lewat
dunia maya. Atastransaksi-transaksi tersebut, sudah sewajarnya konsumen,
terutama konsumen akhir(end-user) diberikan perlindungan hukum
yang kuat agar tidak dirugikan, mengingat transaksi perdagangan yang
dilakukan di dunia maya sangat rawanpenipuan.
Dan dalam perkembangannya, UU ITE yang rancangannya sudah masuk
dalamagenda DPR sejak hampir sepuluh tahun yang lalu, terus mengalami
penambahandisana-sini, termasuk perlindungan dari serangan hacker, pelaranganpenayangancontent yang memuat unsur-unsur pornografi, pelanggaran kesusilaan,pencemaran nama baik, penghinaan dan lain sebagainya.
Terdapat sekitar 11 pasal yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan
yang dilarangdalam UU ITE, yang mencakup hampir 22 jenis perbuatan yang
dilarang. Dari 11Pasal tersebut ada 3 pasal yang dicurigai akan
membahayakan blogger, pasal-pasalyang mengatur larangan-larangan
tertentu di dunia maya, yang bisa saja dilakukanoleh seorang blogger
tanpa dia sadari. Pasal-Pasal tersebut adalah Pasal 27 ayat (1) dan (3),
Pasal 28 ayat (2), serta Pasal 45 ayat (1) dan (2).
Pasal 27 ayat (1)
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang
melanggar kesusilaan.
Pasal 27 ayat (3)
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik.
Pasal 28 ayat (2)
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi
yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama,
ras, dan antargolongan (SARA).
Atas pelanggaran pasal-pasal tersebut, UU ITE memberikan sanksi yang
cukup berat sebagaimana di atur dalam Pasal 45 ayat (1) dan (2).
Pasal 45 ayat (1)
Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 45 ayat (2)
Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
Pelanggaran Norma Kesusilaan
Larangan content yang memiliki muatan yang melanggar
kesusilaan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) idealnya mempunyai
tujuan yang sangat mulia. Pasal ini berusaha mencegah munculnya
situs-situs porno dan merupakan dasar hukum yang kuat bagi pihak
berwenang untuk melakukan tindakan pemblokiran atas situs-situs
tersebut. Namun demikian, tidak adanya definisi yang tegas mengenai apa
yang dimaksud melanggar kesusilaan, maka pasal ini dikhawatirkan akan
menjadi pasal karet.
Bisa jadi, suatu blog yang tujuannya memberikan konsultasi seks dan
kesehatan akan terkena dampak keberlakuan pasal ini. Pasal ini juga bisa
menjadi bumerang bagi blog-blog yang memuat kisah-kisah perselingkuhan,
percintaan atau yang berisi fiksi macam novel Saman, yang isinya buat
kalangan tertentu bisa masuk dalam kategori vulgar, sehingga bisa dianggap melanggar norma-norma kesusilaan.
Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik
Larangan content yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) ini
sebenarnya adalah berusaha untuk memberikan perlindungan atas hak-hak
individu maupun institusi, dimana penggunaan setiap informasi melalui
media yang menyangkut data pribadi seseorang atau institusi harus
dilakukan atas persetujuan orang/institusi yang bersangkutan.
Bila seseorang menyebarluaskan suatu data pribadi seseorang melalui
media internet, dalam hal ini blog, tanpa seijin orang yang
bersangkutan, dan bahkan menimbulkan dampak negatif bagi orang yang
bersangkutan, maka selain pertanggungjawaban perdata (ganti kerugian)
sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UU ITE, UU ITE juga akan menjerat dan memberikan sanksi pidana bagi pelakunya.
Dalam penerapannya, Pasal 27 ayat (3) ini dikhawatirkan akan menjadi pasal sapu jagat atau pasal karet.
Hampir dipastikan terhadap blog-blog yang isinya misalnya: mengeluhkan
pelayanan dari suatu institusi pemerintah/swasta, atau menuliskan efek
negatif atas produk yang dibeli oleh seorang blogger, blog yang isinya kritikan-kritikan atas kebijakan pemerintah,blogger yang menuduh seorang pejabat telah melakukan tindakan korupsi atau tindakan kriminal lainnya, bisa terkena dampak dari Pasal 27 ayat (3) ini.
Pasal Pencemaran Nama Baik
Selain pasal pidana pencemaran nama baik dalam UU ITE tersebut di
atas, Kitab-Kitab Undang Hukum Pidana juga mengatur tentang tindak
pidana penghinaan dan pencemaran nama baik. Pasal-pasal pidana mengenai
penghinaan dan pencemaran nama baik ini memang sudah lama menjadi momok
dalam dunia hukum. Pasal-pasal tersebut antara lain Pasal 310 dan 311 KUHP.
Pasal 310 KUHP :
“(1) Barang siapa dengan
sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan
sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum diancam
karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama 9 bulan……..”
“(2) Jika hal itu
dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan atau
ditempelkan dimuka umum,maka diancam karena pencemaran tertulis dengan
pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan…”
“(3) Tidak merupakan
pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi
kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri.”
Pasal 311 KUHP:
“(1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran tertulis, dalam hal dibolehkan untuk membuktikan bahwa apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan bettentangan dengan apa yang diketahui, maka da diancam karena melakukan fitnah, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.”
“(1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran tertulis, dalam hal dibolehkan untuk membuktikan bahwa apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan bettentangan dengan apa yang diketahui, maka da diancam karena melakukan fitnah, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.”
2.12 Dampak positif dan negatif undang-undang informasi dan transaksi elektronik
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang bisa
disingkat dengan UU ITE yang diterbitkan pada 25 Maret 2008 dengan
cakupan meliputi globalisasi, perkembangan teknologi informasi, dan
keinginan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Undang-Undang ini
marupakan undang-undang yang dinilai mempunyai sisi positif dan negatif.
- Sisi Positif UU ITE
Berdasarkan dari pengamatan para pakar hukum dan politik UU ITE
mempunyai sisi positif bagi Indonesia.Misalnya memberikan peluang bagi
bisnis baru bagi para wiraswastawan di Indonesia karena penyelenggaraan
sistem elektronik diwajibkan berbadan hukum dan berdomisili di
Indonesia.Otomatis jika dilihat dari segi ekonomi dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi.Selain pajak yang dapat menambah penghasilan negara
juga menyerap tenaga kerja dan meninggkatkan penghasilan penduduk.
UU itu juga dapat mengantisipasi kemungkinan penyalahgunaan internet
yang merugikan, memberikan perlindungan hukum terhadap transaksi dan
sistem elektronik serta memberikan perlindungan hukum terhadap kegiatan
ekonomi misalnya transaksi dagang.Penyalahgunaan internet kerap kali
terjadi seperti pembobolan situs-situs tertentu milik
pemerintah.Kegiatan ekonomi lewat transaksi elektronik seperti bisnis
lewat internet juga dapat meminimalisir adanya penyalahgunaan dan
penipuan.
UU itu juga memungkinkan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang di
luar Indonesia dapat diadili.Selain itu, UU ITE juga membuka peluang
kepada pemerintah untuk mengadakan program pemberdayaan internet.Masih
banyak daerah-daerah di Indonesia yang kurang tersentuh adanya
internet.Undang-undang ini juga memberikan solusi untuk meminimalisir
penyalahgunaan internet.
- Sisi Negatif UU ITE
Selain memiliki sisi positif UU ITE ternyata juga terdapat sisi
negatifnya.Contoh kasus Prita Mulyasari yang berurusan dengan Rumah
Sakit Omni Internasional juga sempat dijerat dengan undang-undang ini.
Prita dituduh mencemarkan nama baik lewat internet. Padahal dalam
undang-undang konsumen dijelaskan bahwa hak dari konsumen untuk
menyampaikan keluh kesah mengenai pelayanan publik.Dalam hal ini seolah-olah terjadi tumpang tindih antara UU ITE dengan UU konsumen.UU
ITE juga dianggap banyak oleh pihak bahwa undang-undang tersebut
membatasi hak kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat, dan
menghambat kreativitas dalam berinternet.Padahal sudah jelas bahwa
negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk mengeluarkan
pendapat.Undang-undang ini menimbulkan suatu polemik yang cukup panjang.Maka dari itu muncul suatu gagasan untuk merevisi undang-undang tersebut.
BAB III
PEMBAHASAN
Berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi saat ini bukan hanya
memberikan dampak yang positif,tapi juga bisa memberi dampak negatif
atau bisa dikatakan dunia maya juga mempunyai sisi gelapnya tersendiri
.saat ini kejahatan bukan hanya terjadi di dunia nyata saja tetapi juga
bisa terjadi di dunia maya.sebagai contoh adalah pencemaran nama baik
(Defamation),bila kita cermati saat ini kasus pencemaran nama baik di
dunia maya melalui media online banyak terjadi,contoh kasus pencemaran
nama baik yang pernah terjadi di masyarakat dan sempat menimbulkan
polemik dan kontraversi di masyarakat pada tahun 2009 adalah kasus Prita
Mulyasari yang menyampaikan keluhan melalui surat elektronik (e-mail)
mengenai pelayanan Rumah Sakit (RS) Omni International Tangerang.
Keluh kesah Prita tersebut berwujud email yang dikirimkan Prita ke
temantemannyasebagai curhat dan wujud kekecewaannya atas pelayanan
publik di rumah sakit OMNI International Hospital. Email Prita tersebut
berjudul “Penipuan Omni International Hospital Alam Sutra
Tanggerang”.Sebagian kutipan tulisan Prita dalam emailnya :
”Bila anda berobat, berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit dan
titel international, karena semakin mewah rumah sakit dan semakin
pinter dokter, maka semakin sering uji pasien, penjualan obat dan
suntikan, saya tidak mengatakan semua rumah sakit international
seperti ini, tapi saya mengalami kejadian ini di Rumah Sakit OMNI
International”.(Tempo, Edisi 14 Juni 2009).
Email inilah yang kemudian dijadikan tuntutan oleh Jaksa Penuntut
Umum kepada Pengadilan Negeri Tangerang untuk menuntut Prita dengan
delik pencemaran nama baik (penghinaan), sebagaimana dimaksuf pasal 27
ayat (3) juncto pasal 45 ayat (1) Undang-Undang 11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi elektronik, dan pasal 310 ayat (2) juncto pasal
311 ayat (1) KUHP.(Rakhmati Utami, SH., Surat Dakwaan Kejaksaan NegeriTangerang No. Reg. Perkara 432/TNG/05/2009, tertanggal 20 Mei 2009).
Dakwaan jaksa penuntut umum tersebut, merupakan sebuah faktaadanya
penambahan pasal dari pasal yang dilaporkan dan pasal yang merupakan
hasil penyidikan di tingkat kepolisian.Penambahan pasal ini oleh
sebagian orang dianggap sebagai penyimpangan.Penyimpangan lain dalam
kasus Prita adalah perampasan hak mengemukakan pendapat sebagaimana
ditentukan dalam pasal 28 UUD 1945dan Pasal 19 Deklarasi Universal (PBB)
Hak Asasi Manusia (DUHAM)tanggal 10 Desember 1928, serta pencabutan hak
anak-anak Prita untuk mendapat ASI yang merupakan bagian dari hak anak
atas kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya, sebagaimana ditentukan
dalam Konvensi Hak Anak yakni Kepres No.36 Tahun 1990, Undang-Undang No.39 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No.23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, demikian juga merupakan
pengabaian hak konsumen atau pasien untuk mendapat pelayanan yang baik
dari produsen atau dokter, sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang
Konsumen dan Undang-Undang Praktek Kedokteran.
PEMENUHAN UNSUR-UNSUR PASAL 27 AYAT (3) JO PASAL 45AYAT (1)
UNDANG-UNDANG 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK,
PASAL 310 AYAT (2) DAN PASAL 311 AYAT (1) KUHP DALAM KASUS PRITA.
1. Pemenuhan Unsur Pasal 27 Ayat (3) Jo Pasal 45 Ayat (1)
Undang-Undang 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.
Ketentuan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan :
”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikandan/atau membuat dapat diaksesnya informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik”. (Tim Redaksi Pustaka Yustisia, 2009, hal. 30. atau baca : Gradien Mediatama, 2009, hal. 53).
Sedangkan ketentuan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No.11 Tahun2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan :
”Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pasal
27ayat (1), ayat (2), ayat (3) atau ayat (4) dipidana dengan pidana
penjarapaling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyakRp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)”. (Tim Redaksi PustakaYustisia, 2009, hal. 30. atau baca : Gradien Mediatama, 2009, hal. 53).
Dalam ketentuan pasal 27 ayat 3 dan pasal 45 ayat 1 Undang-UndangITE
(Informasi dan Transaksi Elektronik), tidak terdapat definisi secara
jelas apa yang dimaksud dengan penghinaan atau pencemaran nama baik.
Karena untuk menentukan secara jelas apa yang dimaksud dengan penghinaan
atau pencemaran nama baik, harus merujuk pada ketentuan pasal 310 ayat
(1) KUHP mengenai pencemaran lisan (smaad), pasal 310 ayat (2) mengenai
pencemaran tertulis (smaadscrifft), dan pasal 310 ayat (3)
sebagai penghapusan pidana (untuk kepentingan umum dan pembelaan
terpaksa). Jika email Prita yang berjudul ”Rumah Sakit Omni
International Telah Melakukan Penipuan” tersebut dianggap sebagai
pencemaran nama baik (penghinaan) bagi dokter dan rumah sakit,
sebagaimana ditentukan pasal 27 ayat 3 UU ITE, perlu diingat bahwa email
Prita tersebut bersifat pribadi dan ditujukan hanya kepada teman-teman
terdekatnya. Artinya, Prita tidak bermaksud menyebarluaskan tuduhan itu
kepada umum.Dengan demikian, unsur penyebar-luasan sebagaimana
disyaratkan pada pasal dimaksud tidak terpenuhi.
Perbuatan Prita yang mengirimkan email tersebut
mungkin tanpa motifsengaja mencemarkan nama baik, hanya bersifat keluhan
pribadi, kecuali kalau teman-temannya sengaja mengirim kembali email
tersebut kemudian menambah-nambahi, maka yang harus bertanggungjawab
dalam permasalahanini seharusnya tidak hanya Prita tapi juga
teman-temannya tersebut. Pasal 27 ayat (3) UU ITE ini cukup sulit
pembuktiannya, oleh karena orang yang melanggar harus dibuktikan
memiliki motif sengaja mencemarkan nama baik. Jika hanya bersifat
keluhan pribadi, tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.
Sama halnya, ketika kita mengirimkan sms kesesorang yang isinya bahwa si
A telah melakukan penipuan. Terkecuali jika memang ada motif tertentu
dalam mengirim email atau sms, maka harus dibuktikan motif tersebut,
sedangkan membuktikan adanya motif tertentu sangatlah sulit dilakukan.
Sehingga tidak segampang itu menerapkan pasal 27 ayat (3) UU ITE
tersebut, oleh karena dunia maya sangat jauh berbeda dengandunia nyata,
setiap orang bisa dengan sangat mudah mengaku dia Prita,Krisdayanti,
Lunamaya dan sebagainya. Satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa
pihak OMNI InternationalHospital telah memberikan klarifikasi dna hak
jawabnya pada milis yang sama dengan Prita, namun ia masih tetap
memproses permasalahan ini melalui jalur hukum pidana dan perdata, dan
anehnya gugatan perdatanyapun dikabulkan. Pasal 45 ayat (1) UU ITE
memang menjerat pelaku pasal 27 ayat (3) UU ITE dengan hukuman pejara
diatas 5 (lima) tahun, namun jika permasalahan ini dikenakan pasal-pasal
tersebu, maka betapa lemahnya posisi konsumen (pasien), dan ini jelas
merupakan pemasungan warga negara untuk berpendapat. Jika hal ini
dibenarkan, maka akan banyak korban seperti Prita, karena di era
keterbukaan seperti ini, betapa banyak konsumen yang mengikuti rubrik
surat pembaca di mass media maupun di blog untuk berkeluh kesah dan
berdiskusi.
2. Pemenuhan Unsur Pasal 310 Ayat (2) Dan Pasal 311 Ayat (1) KUHP Ketentuan pasal 310 ayat (1) jo ayat (2) KUHP menyatakan :
“Barang siapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik
seseorang dengan menuduhkan suatu hal, dengan maksud terang supaya
tuduhan itu diketahui umum, diancam karena pencemaran, dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah”.
”jika hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan
dan dipertunjukkan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat dihukum
karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara paling lama satu
tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4500,-(empat ribu lima ratus rupiah). (Andi Hamzah, 2003, hal.124).
Pasal 311 ayat (1) KUHP menyatakan :
”Barang siapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan
tulisan,dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhan itu, jika ia
tidak dapat membuktikan dan jika tuduhan dilakukannya sedang diketahui
tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman penjara
selama-lamanya empat tahun”.(R. Soesilo, 1976, hal. 196).
Ketentuan pasal 310 KUHP menjerat pelakunya dengan hukumanpenjara
maksimum 9 (sembilan) bulan.Demikian pula, dengan ketentuan pasal 311
juga menjerat pelakunya dengan hukuman penjara maksimum 4 (empat) tahun.
Jika kedua ketentuan ini dikoneksikan dengan ketentuan pasal 21 KUHAP,
maka merupakan sebuah pelanggaran apabila Kejaksaan Negeri Tangerang
menahan Prita, oleh karena menurut ketentuan pasal 21 KUHAP,penahan
hanya bisa dilakukan jika ancaman hukumannya di atas 5 (lima) tahun.
Sehingga jelas, tindakan jaksa penuntut umum dalam kasus Prita sangat
tidak profesional.(Leden Marpaung, 1995, hal. 113).Pasal 310 KUHP
cenderung mengatur tentang penghinaan formil, dalam artian, lebih
melihat cara pengungkapan dan relatif tidak peduli dengan aspek
kebenaran isi penghinaan. Sehingga pembuktian kebenaran penghinaan hanya
terletak di tangan hakim sebagaimana diatur pasal 312 KUHP. Sehingga
ketentuan semacam ini sangatlah bersifat subyektif dan ditentukan oleh
kemampuan terdakwa untuk meyakinkan hakim bahwa penghinaan dilakukan
demi kepentingan umum atau terpaksa membela diri, sebagaimana ditentukan
pasal 310 ayat (3) maka jika Prita dapat membuktikan di depan
persidangan bahwa tindakannya dilakukan untuk kepentingan umum dan
membela diri, maka Prita akan terbebas dari segala dakwaan dan tuntutan
hukum. Terlebih ketentuan pasal 310 KUHP (penghinaan, pencemaran nama
baik) adalah sangat identik dengan adanya kehormatan, harkat dan
martabat, sedangkan yang memiliki kehormatan, harkat dna marabat adalah
manusia, badan hukum, sehinga oleh karenanya pasal 310 KUHP ini hanya
diperuntuk kepada korban manusia bukan badan hukum. Hal ini merujuk pada
ketentuan pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan :
”Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat dan harta benda yang ada di bawah kekuasaannya”.(Soetanto Soepiadhy, 2004, hal.70).
Sebaliknya, dari kajian unsur pasal 311 KUHP, yang mewajibkan
pelakuuntuk membuktikan kebenaran materiil (in casu : isi email Prita),
maka jika memang isi dari email Prita tersebut sesuai dengan kenyataan
dna fakta yang sebenarnya, maka Prita harus dibebaskan dari dakwaan
maupun tuntutan pasal 311 KUHP tersebut. Kata ”fitnah” yang ada dalam
klausul pasal 311 KUHP terjadi apabila suatu tuduhan tidak sesuai dengan
kenyaaan, namun jika tuduhan tersebut sesuai dengan kenyataan yang
terjadi, maka hal demikian tidak dapat diklasifikasikan sebagai
”fitnah”. Bahwa, dari berbagai literatur, para sarjana hukum pidana
berpendapat, bahwa tindak pidana yang diatur oleh Pasal 311 KUHP tidak
berdiri sendiri.Artinya, tindak pidana tersebut masih terkait dengan
ketentuan tindak pidana yang lain, dalam hal ini yang erat terkait
adalah ketentuan Pasal 310 KUHP.(Tongat, 2000, Hal. 160-161). Sehingga
Penuntut Umum harus terlebih dahulu dapat membuktikan apabila Prita
terbukti melawan ketentuan Pasal 310 KUHP.
Walaupun pada akhirnya Prita Mulyasari dinyatakan bebas oleh
Pengadilan Negeri Tangerang setelah tiga minggu menjadi penghuni Lapas
Wanita Tangerang karena Majelis Hakim menilai bahwa Prita Mulyasari
tidak mempunyai maksud dengan sengaja menyebarkan Surat Elektronik
kepada khalayak luas dengan demikian tidak ada perbuatan yang melawan
hukum oleh Prita Mulyasari,hal itu juga diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen khususnya Pasal 4 huruf d yaitu:
“Hak untuk didengar pendapat atau keluhan atas barang atau jasa.”
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Di dunia ini banyak hal yang memiliki dualisme yang kedua sisinya
saling berlawanan. Seperti teknologi informasi dan komunikasi, hal ini
diyakini sebagai hasil karya cipta peradaban manusia tertinggi pada
zaman ini. Namun karena keberadaannya yang bagai memiliki dua mata pisau
yang saling berlawanan, satu mata pisau dapat menjadi manfaat bagi
banyak orang, sedangkan mata pisau lainnya dapat menjadi sumber
kerugian bagi yang lain, banyak pihak yang memilih untuk tidak
berinteraksi dengan teknologi informasi dan komunikasi. Sebagai manusia
yang beradab, dalam menyikapi dan menggunakan teknologi ini, mestinya
kita dapat memilah mana yang baik, benar dan bermanfaat bagi sesama,
kemudian mengambilnya sebagai penyambung mata rantai kebaikan terhadap
sesama, kita juga mesti pandai melihat mana yang buruk dan merugikan
bagi orang lain untuk selanjutnya kita menghindari atau memberantasnya
jika hal itu ada di hadapan kita.
4.2 Saran dan Kritik
Penulis menyarankan agar tugas kelompok ini terus dilaksanakan setiap
tahunnya untuk memperkaya wawasan mahasiswa. Penulis juga mengharap
kritik yang membangun demi kesempurnaan tugas makalah kelompok ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar