Etika Profesi Penegak Hukum Polri Antara Moral dan Pengabdian
Oleh : Anang Usman, SH., MSi.**
“Nos scimus quia lex bona est, modo quis ea utatur legitime”
Kita mengetahui bahwa undang-undang itu adalah baik sepanjang orang menggunakannya secara sah (Francis Bacon)
Kita mengetahui bahwa undang-undang itu adalah baik sepanjang orang menggunakannya secara sah (Francis Bacon)
Pendahuluan
Polisi Republik Indonesia (Polri) dalam perannya sebagai penegak
hukum diusianya yang ke-63 tahun selalu terus berupaya untuk memberikan
hasil yang baik. Gejala merosotnya pengemban profesi hukum tampak dari
munculnya istilah “Mafia Peradilan”, dan orang mulai merasa bahwa
sebaiknya untuk menyelesaikan suatu kasus sedapat mungkin jangan ke
pengadilan dengan bantuan pengemban profesi hukum. Apa artinya jika
dikatakan bahwa profesi mengalami kemerosotan (seriouly impaired)? Apa
ukurannya untuk menilai demikian? Jawabnya adalah jika kode etik profesi
tidak dipatuhi oleh sebagian besar para pengembannya. Tetapi, apa kode
etik profesi itu, dan mengapa profesi memerlukan kode etik? Jawabannya
akan tergantung pada pengertian kita tentang profesi itu sendiri.
Perkataan profesi dan profesional sudah sering digunakan dan mempunyai beberapa arti. Dalam percakapan sehari-hari, perkataan profesi diartikan sebagai pekerjaan (tetap) untuk memperoleh nafkah (Belanda; baan; Inggeris: job atau occupation), yang legal maupun yang tidak. Jadi, profesi diartikan sebagai setiap kegiatan tetap tertentu untuk memperoleh nafkah yang dilaksanakan secara berkeahlian yang berkaitan dengan cara berkarya dan hasil karya yang bermutu tinggi dengan menerima bayaran yang tinggi. Keahlian tersebut diperoleh melalui proses pengalaman, belajar pada lembaga pendidikan (tinggi) tertentu, latihan secara intensif, atau kombinasi dari semuanya itu. Dalam kaitan pengertian ini, sering dibedakan pengertian profesional dan profesionalisme sebagai lawan dari amatir dan amatirisme, misalnya dalam dunia olahraga, yang sering juga dikaitkan pada pengertian pekerjaan tetap sebagai lawan dari pekerjaan sambilan.
Pengemban profesi adalah orang yang memiliki keahlian yang berkeilmuan dalam bidang tertentu. Karena itu, ia secara mandiri mampu memenuhi kebutuhan warga masyarakat yang memerlukan pelayanan dalam bidang yang memerlukan keahlian berkeilmuan itu. Pengemban profesi yang bersangkutan sendiri yang memutuskan tentang apa yang harus dilakukannya dalam melaksanakan tindakan pengembanan profesionalnya. Ia secara pribadi bertanggung jawab atas mutu pelayanan jasa yang dijalankannya. Karena itu, hakikat hubungan antara pengemban profesi dan pasien atau kliennya adalah hubungan personal, yakni hubungan antar subyek pendukung nilai.
Hubungan personal yang demikian itu tadi adalah hubungan horisontal antara dua pihak yang secara formal yuridis kedudukannya sama. Walaupun demikian, sesungguhnya dalam substansi hubungan antara pengemban profesi dan klien itu secara sosio-psikologis terdapat ketidakseimbangan. Dalam pengembanan profesinya, seorang pengemban profesi memiliki dan menjalankan otoritas profesional terhadap kliennya, yakni otoritas yang bertumpu pada kompetensi teknikalnya yang superior.
Klien tidak memiliki kompetensi teknikal atau tidak dalam posisi untuk dapat menilai secara obyektif pelaksanaan kompetensi teknikal pengemban profesi yang diminta pelayanan profesionalnya. Karena itu, jika klien mendatangi atau menghubungi pengemban profesi untuk meminta pelayanan atau jasa profesionalnya, maka pada dasarnya klien tersebut tidak mempunyai pilihan lain kecuali memberikan pelayanan profesionalnya secara bermutu dan bermartabat. Uraian tadi menunjukkan bahwa hubungan horosontal antara pengemban profesi dan kliennya juga bersifat suatu hubungan kepercayaan. Ini berarti bahwa klien yang meminta jasa pelayanan profesional, mendatangi pengemban profesi yang bersangkutan dengan kepercayaan penuh bahwa pengemban profesi itu tidak akan menyalahgunakan situasinya, bahwa pengemban profesi itu secara bermartabat akan mengerahkan pengetahuan dan keahlian berkeilmuannya dalam menjalankan pelayanan jasa profesionalnya.
Karena merupakan suatu fungsi kemasyarakatan yang langsung berkaitan dengan nilai dasar yang menentukan derajat perwujudan martabat manusia, maka sesungguhnya pengembanan profesi atau pelayanan profesional itu memerlukan pengawasan masyarakat. Tetapi pada umumnya, yang bukan pengemban profesi yang bersangkutan, tidak memiliki kompetensi teknikal untuk dapat menilai dan melakukan pengawasan yang efektif terhadap pengembanan profesi. Termasuk birokrasi pemerintahan sulit melaksanakan pengawasan dan pengendalian kemasyarakatan (kontrol sosial) terhadap pelayanan profesional secara efektif. Daya jangkau kontrol sosial birokrasi pemerintahan dengan berdasarkan kaidah hukum sangat terbatas, baik karena sifat personal pada hubungan antara pengemban profesi dan klien maupun karena pengemban profesi memiliki kekuasaan dan menjalankan kewibawaan tertentu terhadap kliennya.
Penegakan Hukum
Bahwa etika profesi adalah sebagai sikap hidup untuk memenuhi
kebutuhan pelayanan profesional dari klien dengan keterlibatan dan
keahlian sebagai pelayanan dalam rangka kewajiban masyarakat sebagai
keseluruhan terhadap para anggota masyarakat yang membutuhkannya dengan
disertai refleksi yang seksama, berdasarkan pengertian terdapatnya
kaidah-kaidah pokok etika profesi sebagai berikut:
1. Profesi harus dipandang (dan dihayati) sebagai suatu pelayanan;
2. Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan klien mengacu pada kepentingan atau nilai-nilai luhur sebagai norma kritik yang memotivasi sikap dan tindakan;
3. Pengemban profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan;
4. Agar persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat harus dapat menjamin mutu dan peningkatan pengembanan profesi tersebut.
2. Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan klien mengacu pada kepentingan atau nilai-nilai luhur sebagai norma kritik yang memotivasi sikap dan tindakan;
3. Pengemban profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan;
4. Agar persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat harus dapat menjamin mutu dan peningkatan pengembanan profesi tersebut.
Etika profesi adalah sikap etis sebagai bagian integral dari sikap
hidup dalam menjalani kehidupan sebagai pengemban profesi. Hanya
pengemban profesi yang bersangkutan yang dapat atau yang paling
mengetahui tentang apakah perilakunya dalam mengemban profesi memenuhi
tuntutan etika profesinya atau tidak. Karena tidak memiliki kompetensi
teknikal, maka awam tidak dapat menilai hal itu. Ini berarti, kepatuhan
terhadap etika profesi akan sangat tergantung pada akhlak dan moral
pengemban profesi yang bersangkutan. Disamping itu pengemban profesi
sering dihadapkan pada situasi yang menimbulkan masalah pelik untuk
menentukan perilaku apa yang memenuhi tuntutan etika profesi. Sedangkan
perilaku dalam pengembanan profesi dapat membawa akibat negatif yang
jauh terhadap klien, dimana kenyataan tersebut dapat menunjukkan bahwa
kalangan pengemban profesi itu sendiri membutuhkan adanya pedoman
obyektif yang lebih konkret bagi perilaku profesionalnya. Karena itu,
dari dalam lingkungan para pengemban profesi itu sendiri dimunculkan
seperangkat kaidah perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam
mengemban profesi tersebut. Perangkat kaidah itulah yang disebut sebagai
kode etik profesi (biasa disingkat: kode etik), yang dapat tertulis
maupun yang tidak tertulis. Pada masa sekarang, kode etik itu pada
umumnya berbentuk tertulis yang ditetapkan secara formal oleh tiap-tiap
organisasi profesi yang bersangkutan. Pada dasarnya, kode etik itu
bertujuan untuk menjaga martabat profesi yang bersangkutan, dan di lain
pihak untuk melindungi klien (warga masyarakat) dari penyalahgunaan
keahlian dan atau otoritas profesional. Yang dalam perkembangan
selanjutnya kode etik tersebut termasuk kelompok kaidah moral positif.
Kondisi ini, baik dimasa pemerintahan orde baru maupun pemerintahan pasca reformasi, termasuk pemerintahan sekarang dalam kontek teknisnya, eksistensi “kode etik” tersebut dalam melayani hajat hidup orang banyak, belum total mencitrakan diri dan jatidirinya sebagai pelayanan publik. Dengan kata lain, masih memperlihatkan penyelewengan-penyelewengan etika profesi yang dilakukan oleh pengemban profesi secara individualistik.
Apalagi dikaitkan dengan tuntutan aspirasi rakyat yang menginginkan reformasi total terhadap seluruh tatanan pelayanan publik, dan kita masih berharap-harap cemas untuk mendapat buktinya, apakah dalam kenyataannya proses pengemban profesi ini masih berdasarkan akal sehat dan moral yang baik atau sekedar pengabdian profesi yang tanpa pamrih?
Realitasnya, klien (warga masyarakat) masih harus menanggung beban dalam luka liku setiap permasalahan yang dihadapinya ketika dikerjakan oleh seorang pengemban profesi walaupun ia sanggup membayar, tapi ia akan terus dihantui bayang-bayang kegelisahan ketika permasalahan yang dihadapinya tidak dapat diselesaikan secara tuntas. Malah, dalam kenyataannya proses tersebut harus dibayar dengan mahal, baik secara moril maupun material.
Kendati begitu, dalam prosesnya harus dihitung berbagai kelemahan, baik yang bersifat yuridis formal maupun psikologis, tanpa itu kita bakal terjebak kembali oleh perilaku budaya yang arogan dan kesewenang-wenangan dalam menyelesaikan setiap proses dalam pengembanan profesi tersebut. Persoalan mendasar yang masih kita hadapi saat ini, tidak terlepas dari rangkaian perilaku moral dari para pengemban profesi yang erat dengan budaya feodal kolonialistik. Dan reaksinya, muncul ke permukaan setelah klien (warga masyarakat) di berbagai daerah memiliki kembali keberaniannya untuk memperjuangkan hak dan kewajibannya dalam pola masyarakat hukum.
Paling tidak, mereka itu dapat melakukan kontrol dan penataan publik, terhadap perilaku profesi yang menyimpang yang dilakukan oleh setiap pengemban profesi dalam menjalankan fungsinya dalam tatanan kemasyarakatan, yang memerlukan jasa pelayanan profesinya secara proporsional dan profesional dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam peri kehidupan masyarakat secara benar dan tuntas.
Profesi hukum berkaitan dengan masalah mewujudkan dan memelihara ketertiban yang berkeadilan di dalam kehidupan bermasyarakat. Ketertiban yang berkeadilan itu adalah kebutuhab dasar manusia, karena hanya dalam situasi demikian manusia dapat menjalani kehidupannya secara wajar, yakni sesuai dengan martabat kemanusiannya. Keadilan adalah nilai dan keutamaan yang paling luhur dan merupakan unsur esensial dari martabat manusia.
Hukum, kaidah-kaidah hukum positif, kesadaran hukum, kesadaran etis dan keadilan bersumber pada penghormatan terhadap martabat manusia. Penghormatan terhadap martabat manusia adalah titik tolak atau landasan bertumpunya serta tujuan akhir dari hukum. Sebagai sarana untuk mewujudkan ketertiban yang berkeadilan, hukum diwujudkan dalam pelbagai kaidah perilaku kemasyarakatan yang disebut kaidah hukum. Keseluruhan kaidah hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat tersusun dalam suatu sistem yang disebut tata hukum. Ada dan berfungsinya tata hukum dengan kaidah –kaidah hukumnya serta penegakannya adalah produk dari perjuangan manusia dalam upaya mengatasi pelbagai masalah kehidupan dalam masyarakat, termasuk menanggulangi dan mengarahkan kecenderungan-kecenderungan yang negatif agar menjadi positif dan mengaktualisasikan atau memproduktifkan kecenderungan-kecenderungan positif yang ada dalam diri manusia.
Dalam setiap perjuangan, manusia berusaha memahami, mengolah dan mengakomodasikan secara kreatif pelbagai kenyataan kemasyarakatan pada nilai-nilai yang dianut dan mengekspresikan ke dalam sistem penataan perilaku dan kehidupan bersama dalam wujud kaidah-kaidah hukum, sehingga bermanfaat bagi perlindungan martabat manusia sesuai dengan tingkat perkembangan peradaban yang sudah tercapai. Dapat dikatakan bahwa dalam dinamika kehidupan umat manusia, hukum dan tata hukumnya termasuk salah satu faktor yang sangat penting dalam proses penghalusan budi pekerti umat manusia. Kualitas kehidupan hukum dan tata hukum suatu masyarakat mencerminkan tingkat akhlak atau situasi kultural masyarakat yang bersangkutan.
Penyelenggaraan dan penegakan ketertiban yang berkeadilan dalam kehidupan bersama sebagai suatu kebutuhan dasar manusia agar kehidupan manusia tetap bermartabat adalah suatu fungsi kemasyarakatan. Pada tingkat peradaban yang sudah majemuk, fungsi kemasyarakatan penyelenggaraan dan penegakan ketertiban yang berkeadilan itu dalam kehidupan sehari-harinya diwujudkan oleh profesi hukum. Peran kemasyarakatan profesi hukum itu dapat dibagi menjadi empat bidang karya hukum, yakni :
1. Penyelesaian konflik secara formal (peradilan).
2. Pencegahan konflik (legal drafting, legal advice).
3. Penyelesaian konflik secara informal.
4. Penerapan hukum di luar konflik.
2. Pencegahan konflik (legal drafting, legal advice).
3. Penyelesaian konflik secara informal.
4. Penerapan hukum di luar konflik.
Pada masa sekarang, yang termasuk dalam bagian profesi hukum yang
secara khas mewujudkan bidang karya hukumnya adalah jabatan-jabatan
hakim, advokat dan notaris. Jabatan manapun yang diembannya, seorang
pengemban profesi hukum dalam menjalankan fungsinya harus selalu mengacu
pada tujuan hukum untuk memberikan pengayoman kepada setiap manusia
dengan mewujudkan ketertiban yang berkeadilan, yang bertumpu pada
penghormatan martabat manusia.
Dalam dinamika kehidupan sehari-hari tidak jarang terjadi konflik kepentingan antar warga masyarakat, seringkali konflik kepentingan itu tidak dapat diselesaikan dengan baik oleh para pihak yang bersangkutan, karena tiap pihak tentu saja akan cenderung berusaha untuk dengan segala cara membela kepentingan-kepentingannya. Cara yang demikian akan menimbulkan ketegangan dalam masyarakat dan dapat menjurus pada terciptanya suasana “bellum omnium contra omnes” dengan hukum rimbanya : “siapa yang kuat dialah yang menang”. Untuk dapat secara teratur menyelesaikan konflik kepentingan dengan baik demi terpeliharanya ketertiban di dalam masyarakat, maka diperlukan adanya institusi (kelembagaan) khusus yang mampu memberikan penyelesaian secara tidak memihak (imparsial) dan berlandaskan patokan yang berlaku secara obyektif. Untuk menyelesaikan konflik-konflik kepentingan secara formal dengan kepastian yang berkeadilan, maka terbentuklah institusi peradilan lengkap dengan aturan-aturan prosedural dan jabatan-jabatan yang berkaitan, yakni hakim, advokat dan jaksa.
Wewenang pokok dari lembaga peradilan adalah melakukan tindakan pemeriksaan, penilaian dan penetapan nilai perilaku manusia tertentu serta menentukan nilai suatu situasi konkret dan menyelesaikan persoalan (konflik) yang ditimbulkan secara imparsial berdasarkan hukum yang dalam hal ini bisa dijadikan sebagai patokan obyektif. Wewenang itulah yang disebut kewenangan (kekuasaan) kehakiman, dimana pengambilan keputusan dalam mewujudkan kewenangan kehakiman tersebut dalam kenyataan konkret, dilaksanakan oleh pejabat lembaga peradilan yang dinamakan hakim.
Pada dasarnya, tugas hakim adalah memberikan keputusan atas setiap perkara (konflik) yang dihadapkan kepadanya. Artinya, hakim bertugas untuk menetapkan hubungan hukum, nilai hukum dari perilaku serta kedudukan hukum para pihak yang terlibat dalam situasi yang dihadapkan kepadanya. Agar dapat menyelesaikan masalah atau konflik yang dihadapkan kepadanya secara imparsial berdasarkan hukum yang berlaku, maka dalam proses pengambilan keputusan, para hakim harus mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun, termasuk dari pemerintah sekalipun. Dalam mengambil keputusan para hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah hukum yang menjadi atau dijadikan landasan yuridis keputusannya, disamping sikap etis atau etika profesi hakim harus berintikan: sikap takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, jujur, adil, bijaksana, imparsial (tidak memihak), sopan, sabar, memegang teguh rahasia jabatan, dan solidaritas sejati. Dan mengenai tanggung jawab antara hakim dan advokat atau penasehat hukum adalah tanggung jawab dan kewenangannya saja, hakim terbatas pada satu bidang karya hukum saja, yakni penyelesaian konflik dan masalah formal, sedangkan advokat atau penasehat hukum dapat berperan pada semua bidang karya hukum dalam mengemban profesinya itu. Advokat atau penasehat hukum juga harus selalu mengacu pada usaha mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum yang berkeadilan. Karena itu, pada dasarnya etika profesi hakim berlaku juga bagi para advokat. Secara etis, para advokat atau penasehat hukum berkewajiban untuk menegakkan asas-asas hukum dan martabat manusia.
Penutup
Uraian diatas mengambarkan kode etik profesi hukum dalam bentuk
ideal, walaupun dalam kenyataanya dapat kita temukan
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hal konteks ini. Hal ini
biasa, artinya dalam kenyataan konkret hampir tidak ada sesuatu yang
hadil dalam bentuk idealnya. Namun, jika penyimpangan-penyimpangan ini
cukup jauh dan mencakup banyak aspek serta meluas sekali, maka mungkin
kita dapat berbicara tentang krisis atau perubahan fundamental dengan
segala akibat dan konsekuensi logisnya dalam kehidupan bermasyarakat.
Uraian ini justru dimulai dengan menunjukkan gejala-gejala yang
memperlihatkan kemungkinan adanya krisis dalam dunia profesi kita yang
mungkin mencakup semua profesi yang ada sekarang ini.
Tujuan pokok (essensial goals) para pengemban profesi dalam mengemban profesinya adalah mewujudkan hasil karya obyektif (objective achievement) dan pengakuan. Dalam kenyataan terdapat beberapa hal yang sangat penting tidak hanya sebagai lambang pengakuan saja, melainkan dalam konteks lain. Misalnya, berlaku untuk uang. Karena uang adalah penting sehubungan dengan apa yang dapat dibelinya, tetapi juga penting dalam perannya sebagai lambang pengakuan nyata atas kualitas karya profesionalnya.Gambaran ideal tentang profesi hanya berlaku pada situasi yang di dalamnya terdapat aspek hasil karya obyektif dan terintegrasikan dengan baik. Jika kenyataan aktual menyimpang dari kondisi ideal, maka hasil karya obyektif yang memiliki nilai secara institusional dan perolehan pelbagai lambang pengakuan akan tidak terartikulasikan atau terolah dengan baik. Kualitas profesi hukum akan merosot jika penguasa politik menguasai profesi dalam rangka menetralkan sumber kritik potensialnya, para pengemban profesi hukum terperangkap oleh kepentingan klien, karena takut kehilangan klien, pengemban profesi secara subyektif terlibat terlalu jauh dalam kepentigan klien, dan ujung-ujungnya kualitas lembaga peradilan sangat rendah dan mengkhawatirkan kondisinya.
Tujuan pokok (essensial goals) para pengemban profesi dalam mengemban profesinya adalah mewujudkan hasil karya obyektif (objective achievement) dan pengakuan. Dalam kenyataan terdapat beberapa hal yang sangat penting tidak hanya sebagai lambang pengakuan saja, melainkan dalam konteks lain. Misalnya, berlaku untuk uang. Karena uang adalah penting sehubungan dengan apa yang dapat dibelinya, tetapi juga penting dalam perannya sebagai lambang pengakuan nyata atas kualitas karya profesionalnya.Gambaran ideal tentang profesi hanya berlaku pada situasi yang di dalamnya terdapat aspek hasil karya obyektif dan terintegrasikan dengan baik. Jika kenyataan aktual menyimpang dari kondisi ideal, maka hasil karya obyektif yang memiliki nilai secara institusional dan perolehan pelbagai lambang pengakuan akan tidak terartikulasikan atau terolah dengan baik. Kualitas profesi hukum akan merosot jika penguasa politik menguasai profesi dalam rangka menetralkan sumber kritik potensialnya, para pengemban profesi hukum terperangkap oleh kepentingan klien, karena takut kehilangan klien, pengemban profesi secara subyektif terlibat terlalu jauh dalam kepentigan klien, dan ujung-ujungnya kualitas lembaga peradilan sangat rendah dan mengkhawatirkan kondisinya.
Dari apa yang telah dikemukakan, dapat dikatakan bahwa profesi adalah suatu kerangka institusional yang di dalamnya terdapat sejumlah fungsi kemasyarakatan yang paling penting dijalankan, terutama pengembangan serta pengajaran ilmu dan humaniora dan penerapan praktikalnya dalam bidang-bidang ilmu lainnya terutana dalam bidang hukum. Untuk itu perlu diusahakan agar profesi-profesi ini mampu mempertahanlkan otonominya, misalnya lewat organisasi profesi yangkemandiriannya diakui dan dihormati oleh penguasa publik dan masyarakat, serta didukung oleh proses dan metode yang juga memuat usaha untuk secara sistematis menumbuhkan sikap etis yang sesuai dengan dinamisasi kehidupan masyarakat sekarang ini.
Sebab, membangun wacana ini dalam masyarakat yang masih bersikap reaktif emosional, peran pengemban profesi hukum yang profesional dan proporsional akan sangat menentukan. Jika tidak mampu mencitrakan diri dan jati dirinya, masyarakat akan terpengaruh untuk tidak patuh dan taat akan hukum. Karena yang kita perlukan adalah para pengemban profesi hukum yang bisa memerankan unsur idealisme dan realistisnya dalam mengaplikasikan setiap kinerjanya, sehingga segala bentuk harapan dan kenyataan akan antara moral dan pengabdian dalam kode etik profesi hukum akan terwujud dengan sendirinya, Selamat HUT Bhayangkara. ….….
** Kaur Penerapan Hukum dan Undang Undang Bidang Pembinaan Hukum
Polda Jawa Barat, Dosen Unpas dan Dosen Wali Program Pascasarjana Ilmu
Kepolisian Unpas.
artikel hukum (PR)
artikel hukum (PR)
Sumber : http://www.lodaya.web.id/?p=522
Tidak ada komentar:
Posting Komentar